Pendahuluan
Salah satu
faktor yang menjadikan agama Islam kekal-abadi sampai akhir zaman, dikarenakan
fondasinya yang begitu kuat dan membumi. Fondasi itu adalah Al-Qur’an, kitab
suci Allah yang terakhir diturunkan sebagai petunjuk (hudā) dan pemberi
penjelasan bagi manusia (bayyināt) sekaligus pembeda antara yang haqq
(benar) dan yang bāthil (tidak benar).[1]
Lebih dari itu, sebagai kitab suci, Al-Qur’an terhindar dari berbagai
distorsi dan interpolasi, karena ia berasal dari Allah swt.[2]
Dengan demikian, Al-Qur’an menjadi solusi terbaik bagi kehidupan manusia.[3] Dari
sana, Al-Qur’an dapat dibuktikan sebagai Kitābullāh yang benar-benar
berbeda dengan kitab suci (yang sekarang dianggap suci oleh para penganutnya)
lain, khususnya Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB)[4] yang
dimiliki oleh kaum Yahudi dan Kristen.
Dengan
fakta-fakta di atas, kaum Muslimin dapat berbangga bahwa hanya kitab suci
mereka yang murni dan bersih dari ketidakbenaran dan kebatilan. Bagaimana
tidak, karena Al-Qur’an diturunkan oleh Allah dan dijaga oleh-Nya.[5]
Fakta ini yang membuat para sarjana,
intelek, dan teolog Yahudi-Kristen tidak mau menerima kebenaran kitab suci
Al-Qur’an. Salah satu kelompok intelek (sarjana) mereka itu lah yang dikenal
dengan “orientalist”, khususnya yang memiliki concern terhadap studi
Al-Qur’an. Lewat usaha-usaha ilmiah (penelitian), mereka mencoba untuk
menjadikan Al-Qur’an sebagai “bahan kajian” mereka, yang menghasilkan berbagai
karya dan penemuan – yang menurut mereka – ‘ilmiah’, karena didasarkan pada
banyak referensi Islam. Untuk mengkaji Al-Qur’an ini, mereka mencoba
menggunakan berbagai framework (bingkai-kerja) yang khas Barat dan
berbeda dengan metode para ulama’ Islam dalam mengkaji Al-Qur’an.
Pandangan gustave weil terhadap alqur’an
Pada abad ke
19, kajian Al_Quran di Barat mngalami kemajuan yang pesat, dimulai dari edisi
teks Gustav Redslob. Pada tahun 1844, Gustav Weil menulis sebuah karya yang
monumental dengan judul Historirische-kristische Einleitung in den Koran. Dalam pandangan Weil,
Al-Qur'an perlu dikaji secara kronologis. Ia mengemukakan tiga kriteria untuk
aransemen kronologi Al-Qur'an: (i) rujukan-rujukan kepada peristiwa-peristiwa
historis yang diketahui dari sumber-sumber lainnya; (ii) karakter wahyu
sebagai refleksi perubahan situasi dan peran Muhammad; dan (iii) penampakan
atau bentuk lahiriah wahyu. Mengenai surah-surah Al-Qur'an, Weil membagi
menjadi empat kelompok. (i) Makkah pertama atau awal; (ii) Makkah kedua atau
tengah; (iii) Makkah ketiga atau akhir dan (iv) Madinah. Titik-titik peralihan
untuk keempat periode ini adalah masa hijrah ke Abisinia (sekitar 615) untuk
periode Makkah awal dan Makkah tengah, saat kembalinya Nabi dari Taif (620)
untuk periode Makkah tengah dan Makkah akhir, serta peristiwa Hijrah (September
622) untuk periode Makkah akhir dan Madinah.[6]
Setelah Gustav
Weil berhasih melakukan Kajian kronologi al-Quran. Kemudian diikuti oleh
Theodor Noldeke, William Muir, dan sarjana-sarjana lainnya Mereka meragukan
kemungkinan al-Quran dapat disusun menurut urutan surah-surahnya dengan
bersandar pada riwayat kehidupan Rasulullah saw.
Menggunakan Teori Prediksi
Maksudnya, dalam mengkaji Al-Qur’an, para
orientalis menggunakan “teori prediksi” alias dugaan, yaitu: mereka lebih
percaya kepada riwayat dan dalil yang lebih dekat kepada kesalahan. Para
orientalis mengaplikasikan teori ini ketika mengkaji susunan surat-surat
Al-Qur’an. Diantara orientalis yang menggunakan teori ini adalah: Nöldeke,
Gustav Weil, Richard Bell, H. Grimme, William Muir, dan Blachére.
Dalam Geschichte
des Qorans-nya, Nöldeke berasumsi bahwa susunan ayat dan surat yang ada
dalam Mushaf ‘Utsmānī saat ini “tidak tepat”. Karena, menurutnya, tidak
sesuai dengan kronologis turunnya surat-surat tersebut. Oleh karena itu,
Nöldeke membuat urutan Al-Qur’an versi pribadinya, yang menurutnya lebih
rasional. Dan untuk melakukan usahanya ini, Nöldeke bersandar pada transmisi
sejarah dan interpretasi.[7]
Maka, dia membagi surat-surat Makkiyyah ke dalam tiga periode
Pertama, surat
Al-Qur’an pada periode ini singkat-singat. Kedua, menggambarkan
transisi dari antusiasme Muhammad kepada keadaan yang lebih tenang. Ajaran
fundamental dari surat-surat periode kedua ini diberikan melalui
berbagai ilustrasi yang diambil dari alam dan sejarah. Dan ketiga, menggambarkan
karakteristik pada surat-surat di periode kedua, namun lebih intensif
dijelaskan.[8]
Pandangan
Nöldeke tersebut diikuti dan diulangi oleh beberapa orientalis lain, seperti:
Gustav Weil, H. Grimme, Bell, Muir, dan Blachére. Dan ternyata, pandangan
seluruh orientalis ini merupakan ‘jiplakan’ dari pendapat seorang ulama Muslim,
Abū al-Qāsim al-Hassan ibn Muhammad ibn Habīb al-Nīsābūrī dalam
bukunya al-Tanbīh ilā Fadhl ‘Ulūm al-Qur’ān yang menyatakan bahwa salah
satu ilmu yang paling mulia dalam studi Al-Qur’an adalah: ilmu (untuk)
mengetahui turunnya Al-Qur’an, tempat turunnya, dan urutan yang turun di
Mekkah, yaitu awalnya, tengahnya, dan akhirnya. Juga, susunan surat yang turun
di Madinah.[9]
Hanya saja, para orientalis tidak mengaku bahwa mereka mengadopsi pandangan
ini.
Juga perlu
ditegaskan di sini bahwa upaya untuk menyusun surat dan ayat Al-Qur’an menurut
kronologis turunnya bukan pandangan baru dari orientalis, karena ternyata Imam
‘Alī ibn Abī Thālib adalah sahabat pertama yang melakukannya di dalam Mushaf
pribadinya.[10]
Dari sini menjadi jelas bahwa (ternyata) usaha orientalis dalam “merestorasi”
susunan surat dan ayat Al-Qur’an bukanlah hal yang baru. Apa yang mereka
upayakan, sejatinya, hanya mengulang pandangan ulama’ Muslim juga. Dengan demikian,
objektifitas kajian orientalis, khususnya framework mereka dalam
mengkaji Al-Qur’an benar-benar bias: bias pandangan-hidup (worldview),
kepentingan, dan politis Barat yang ingin merusak keyakinan umat Islam terhadap
kitab sucinya.
[4]. Bagaimana pun, amat sulit untuk
dikatakan bahwa Perjanjian Lama (Old Testament, al-‘Ahd al-Qadīm) dan
Perjanjian Baru (New Testament, al-‘Ahd al-Jadīd) saat ini sebagai
“kitab suci” yang masih memuat secara murni Firman Allah yang pernah diwahyukan
kepada nabi Mūsā dan nabi ‘Īsā. Tentunya dengan berbagai alasan, dan yang
terpenting: kedua Perjanjian tersebut memuat pelecehan terhadap Allah, para
nabi-Nya, dsb. Dengan begitu, PL tidak dapat dikatakan sebagai “Taurāt” dan PB
tidak layak disebut “Injīl”. Karena Taurāt dan Injīl yang disebutkan oleh Allah
dalam Al-Qur’an memuat wahyu-Nya yang diturunkan kepada nabi Mūsā dan nabi
‘Īsā.
[6]. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al- Qur'an
(Yogyakarta: FkBA, 2001), 100, selanjutnya diringkas Rekonstruksi
[9]. Lihat, Imam Badr al-Dīn Muhammad ibn ‘Abd
Allāh al-Zarkasyī, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, tahqīq: Muhammad Abū
al-Fadhl Ibrāhīm, 4 Jilid (Cairo: Maktabah Dār al-Turāts, 1404 H/1984 M), 1:
192
0 komentar:
Posting Komentar