Rabu, 18 Februari 2015



Pendahuluan
            Salah satu faktor yang menjadikan agama Islam kekal-abadi sampai akhir zaman, dikarenakan fondasinya yang begitu kuat dan membumi. Fondasi itu adalah Al-Qur’an, kitab suci Allah yang terakhir diturunkan sebagai petunjuk (hudā) dan pemberi penjelasan bagi manusia (bayyināt) sekaligus pembeda antara yang haqq (benar) dan yang bāthil (tidak benar).[1] Lebih dari itu, sebagai kitab suci, Al-Qur’an terhindar dari berbagai distorsi dan interpolasi, karena ia berasal dari Allah swt.[2] Dengan demikian, Al-Qur’an menjadi solusi terbaik bagi kehidupan manusia.[3] Dari sana, Al-Qur’an dapat dibuktikan sebagai Kitābullāh yang benar-benar berbeda dengan kitab suci (yang sekarang dianggap suci oleh para penganutnya) lain, khususnya Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB)[4] yang dimiliki oleh kaum Yahudi dan Kristen.
            Dengan fakta-fakta di atas, kaum Muslimin dapat berbangga bahwa hanya kitab suci mereka yang murni dan bersih dari ketidakbenaran dan kebatilan. Bagaimana tidak, karena Al-Qur’an diturunkan oleh Allah dan dijaga oleh-Nya.[5] Fakta ini  yang membuat para sarjana, intelek, dan teolog Yahudi-Kristen tidak mau menerima kebenaran kitab suci Al-Qur’an. Salah satu kelompok intelek (sarjana) mereka itu lah yang dikenal dengan “orientalist”, khususnya yang memiliki concern terhadap studi Al-Qur’an. Lewat usaha-usaha ilmiah (penelitian), mereka mencoba untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai “bahan kajian” mereka, yang menghasilkan berbagai karya dan penemuan – yang menurut mereka – ‘ilmiah’, karena didasarkan pada banyak referensi Islam. Untuk mengkaji Al-Qur’an ini, mereka mencoba menggunakan berbagai framework (bingkai-kerja) yang khas Barat dan berbeda dengan metode para ulama’ Islam dalam mengkaji Al-Qur’an.


Pandangan gustave weil terhadap alqur’an
Pada abad ke 19, kajian Al_Quran di Barat mngalami kemajuan yang pesat, dimulai dari edisi teks Gustav Redslob. Pada tahun 1844, Gustav Weil menulis sebuah karya yang monumental dengan judul Historirische-kristische Einleitung in den Koran. Dalam pandangan Weil, Al-Qur'an perlu dikaji secara kronologis. Ia mengemukakan tiga kriteria untuk aransemen kronologi Al-Qur'an: (i) rujukan-rujukan kepada peristiwa-peristiwa historis yang diketahui dari sumber-sum­ber lainnya; (ii) karakter wahyu sebagai refleksi perubahan situasi dan peran Muhammad; dan (iii) penampakan atau bentuk lahiriah wahyu. Mengenai surah-surah Al-Qur'an, Weil membagi menjadi empat kelompok. (i) Makkah pertama atau awal; (ii) Makkah kedua atau tengah; (iii) Makkah ketiga atau akhir dan (iv) Madinah. Titik-titik peralihan untuk keempat periode ini adalah masa hijrah ke Abisinia (sekitar 615) untuk periode Makkah awal dan Makkah tengah, saat kem­balinya Nabi dari Taif (620) untuk periode Makkah tengah dan Makkah akhir, serta peristiwa Hijrah (September 622) untuk periode Makkah akhir dan Madinah.[6]
Setelah Gustav Weil berhasih melakukan Kajian kronologi al-Quran. Kemudian diikuti oleh Theodor Noldeke, William Muir, dan sarjana-sarjana lainnya Mereka meragukan kemungkinan al-Quran dapat disusun menurut urutan surah-surahnya dengan bersandar pada riwayat kehidupan Rasulullah saw.
      Menggunakan Teori Prediksi
Maksudnya, dalam mengkaji Al-Qur’an, para orientalis menggunakan “teori prediksi” alias dugaan, yaitu: mereka lebih percaya kepada riwayat dan dalil yang lebih dekat kepada kesalahan. Para orientalis mengaplikasikan teori ini ketika mengkaji susunan surat-surat Al-Qur’an. Diantara orientalis yang menggunakan teori ini adalah: Nöldeke, Gustav Weil, Richard Bell, H. Grimme, William Muir, dan Blachére.
Dalam Geschichte des Qorans-nya, Nöldeke berasumsi bahwa susunan ayat dan surat yang ada dalam Mushaf ‘Utsmānī saat ini “tidak tepat”. Karena, menurutnya, tidak sesuai dengan kronologis turunnya surat-surat tersebut. Oleh karena itu, Nöldeke membuat urutan Al-Qur’an versi pribadinya, yang menurutnya lebih rasional. Dan untuk melakukan usahanya ini, Nöldeke bersandar pada transmisi sejarah dan interpretasi.[7] Maka, dia membagi surat-surat Makkiyyah ke dalam tiga periode
Pertama, surat Al-Qur’an pada periode ini singkat-singat. Kedua, menggambarkan transisi dari antusiasme Muhammad kepada keadaan yang lebih tenang. Ajaran fundamental dari surat-surat periode kedua ini diberikan melalui berbagai ilustrasi yang diambil dari alam dan sejarah. Dan ketiga, menggambarkan karakteristik pada surat-surat di periode kedua, namun lebih intensif dijelaskan.[8]
Pandangan Nöldeke tersebut diikuti dan diulangi oleh beberapa orientalis lain, seperti: Gustav Weil, H. Grimme, Bell, Muir, dan Blachére. Dan ternyata, pandangan seluruh orientalis ini merupakan ‘jiplakan’ dari pendapat seorang ulama Muslim, Abū al-Qāsim al-Hassan ibn Muhammad ibn Habīb al-Nīsābūrī dalam bukunya al-Tanbīh ilā Fadhl ‘Ulūm al-Qur’ān yang menyatakan bahwa salah satu ilmu yang paling mulia dalam studi Al-Qur’an adalah: ilmu (untuk) mengetahui turunnya Al-Qur’an, tempat turunnya, dan urutan yang turun di Mekkah, yaitu awalnya, tengahnya, dan akhirnya. Juga, susunan surat yang turun di Madinah.[9] Hanya saja, para orientalis tidak mengaku bahwa mereka mengadopsi pandangan ini.
Juga perlu ditegaskan di sini bahwa upaya untuk menyusun surat dan ayat Al-Qur’an menurut kronologis turunnya bukan pandangan baru dari orientalis, karena ternyata Imam ‘Alī ibn Abī Thālib adalah sahabat pertama yang melakukannya di dalam Mushaf pribadinya.[10] Dari sini menjadi jelas bahwa (ternyata) usaha orientalis dalam “merestorasi” susunan surat dan ayat Al-Qur’an bukanlah hal yang baru. Apa yang mereka upayakan, sejatinya, hanya mengulang pandangan ulama’ Muslim juga. Dengan demikian, objektifitas kajian orientalis, khususnya framework mereka dalam mengkaji Al-Qur’an benar-benar bias: bias pandangan-hidup (worldview), kepentingan, dan politis Barat yang ingin merusak keyakinan umat Islam terhadap kitab sucinya.



[1]. Lihat, Qs. al-Baqarah (2): 185.
[2]. Cermati, Qs. al-Nisā’ (4): 82. Cermati juga, Qs. Muhammad (47): 24.
[3]. Lihat lebih lanjut, Qs. al-Isrā’ (17): 9.
[4]. Bagaimana pun, amat sulit untuk dikatakan bahwa Perjanjian Lama (Old Testament, al-‘Ahd al-Qadīm) dan Perjanjian Baru (New Testament, al-‘Ahd al-Jadīd) saat ini sebagai “kitab suci” yang masih memuat secara murni Firman Allah yang pernah diwahyukan kepada nabi Mūsā dan nabi ‘Īsā. Tentunya dengan berbagai alasan, dan yang terpenting: kedua Perjanjian tersebut memuat pelecehan terhadap Allah, para nabi-Nya, dsb. Dengan begitu, PL tidak dapat dikatakan sebagai “Taurāt” dan PB tidak layak disebut “Injīl”. Karena Taurāt dan Injīl yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an memuat wahyu-Nya yang diturunkan kepada nabi Mūsā dan nabi ‘Īsā.
[5]. Cermati, Qs. al-Hijr (15): 9.
[6]. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al- Qur'an (Yogyakarta: FkBA, 2001), 100, selanjutnya diringkas Rekonstruksi
[7]. Theodor Nöldeke, Tārīkh al-Qur’ān, 1: 53
[8]. Theodor Nöldeke, Tārīkh al-Qur’ān, 1: 69-104, 105-128-148.
[9].  Lihat, Imam Badr al-Dīn Muhammad ibn ‘Abd Allāh al-Zarkasyī, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, tahqīq: Muhammad Abū al-Fadhl Ibrāhīm, 4 Jilid (Cairo: Maktabah Dār al-Turāts, 1404 H/1984 M), 1: 192
[10]. Imam al-Suyūthī, al-Itqān, 2: 406

0 komentar:

Posting Komentar