Selasa, 17 Februari 2015



A.    Biografi dan dan Karakteristik Pemikiran Annemarie Schimmel
Annemarie Schimmel berasal dari Jerman dia adalah seorang profesor studi-studi agama pada Departemen of Near Eastern Languagees Harvard University. Amerika Serikat, ahli sufisme, guru besar ilmu kultur Indo-Muslim, dan ahli fenomenologi. Ia adalah seorang ahli dibidang ilmu-ilmu Islam yang terkemuka dan telah banyak mengahsilkan karya-karya berbobot dibidang studi-studi Islam.

Pada Oktober 1995 dia menjadi sasaran kecaman 200 penerbit, toko buku dan kaum pelajar Jerman sehubungan dengan pengumuman “German Book Trades” yang menyatakan terpilih sebagai pemenang hadiah perdamaian. Lembaga ini memilih Schimmel berkat jasanya dalam membantu menciptakan saling pengertian antara orang Barat dan kaum muslim lewat puluhan buku dan ratusan karya tulisnya tentang Islam. Selain sebagai orang yang memiliki otoritas yang luar biasa dalam kajian sufisme di Barat, wanita jenius yang meraih gelar doktor di bidang studi Islam pada usia 21 tahun itu dihormati sebagai mutiara yang telah memberikan pemahaman lebih baik mengenai Islam kepada dunia Barat.

Schimmel adalah orang yang sangat simpatik terhadap Islam. Dialah orang yang berusaha memahami Islam melalui pendekatan Fenomologi. Buat Schimmel, satu-satunya metode yang sah dalam mempelajari dan mengungkapkan Islam adalah fenomenologi. Islam harus dilihat dan dipahami sebagaimana orang Islam memahaminya Latar belakang kehidupannya, sejak kecil ia telah terbiasa mendengarkan puisi Jerman klasik dan Perancis di bacakan ayahnya, sangat berpengaruh pada corak pemikirannya kemudian, kecintaannya pada bidang sastra, kemudian Schimel menerjemahkan puisi sastrawan arab, persia, urdu, turki, dan sidhi ke dalam bahasa jerman. Bahkan ia telah merampungkan kumpulan puisi yang berjudul Nightingale Under The Snow, ketika ia mengajar di Universitas Harvard.

Dari situ, memang jelas bahwa Schimmel adalah seorang orientalis, namun tidak adil rasanya jika Schimmel diposisikan seperti para orientalis lain yang hanya mengakaji Islam dari kacamata Barat dan cenderung mendasarkan pada latar belakang blibikal mereka yang secara umum keliru dalam menangkap kata hati kaum muslim. Sedangkan Schimmel, dalam semua karyanya mendasarkan diri pada sumber-sumber asli setempat yang justru mampu mengungkap secara jernih, indah, apa adanya dan cermat tentang Islam.

Metode yang digunakan Schimmel dalam memahami Islam adalah fenomenologi. Karena bagi Schimmel adalah satu-satunya metode yang sah untuk mempelajari dan mengungkapkan Islam. Islam harus dilihat dan dipahami sebagaimana orang Islam memahaminya. Concern para peneliti dan filosof agama mengenai fenomenologi, belakangan ini telah melahirkan suatu pendekatan yang dikenal sebagai “Fenomenologi Agama”.

Namun, Satu kritik yang patut dilontarkan terhadap pemikiran Schimmel adalah karena metode pendekatan yang ia gunakan adalah Fenomenologi, maka Fenomena-Fenomena agama hampir dapat dipastikan (harus) selalu identik dengan pengalaman keagamaan mayoritas (maesa) penganutnya, Yakni dengan manifestasi populernya. Karena itu tak aneh jika pemikirannya selalu mencakup mitos-mitos dan simbolisme-simbolisme sakral. Disamping itu, fenomena
keagamaan yang dikaji Schimmel terbatas pada apa yang sepenuhnya bersifat subjektif dan personal, karena dipahami sebagai apa yang “menampakkan diri dalam jiwa orang-orang beriman”, sehingga agama cenderung di identikkan dengan mistisme[1].

Oleh karena itu, bukan sesuatu hal yang aneh jika pemikirannya Schimmel punya kecenderungan mistikal. Bagi para peneliti yang tidak sejalan dengannya, kelemahan-kelemahan dijadikan landasan kritik, bahwa Schimmel memahami Islam secara parsial, karena dalam Islam aspek-aspek Profon terbukti tidak kalah vital. Menurut mereka Schimmel juga tidak sepenuhnya Fair
terhadap agama-agama lain yang lebih spiritual.
   B. Pandangan Annemarie Schimmel Tentang Muhammad
1.      Muhammad Teladan Yang Baik
Muhammad dikatakan oleh Schimmel adalah seorang sufi yang sempurna dan merupakan mata rantai pertama dalam rangkaian rohani tasawuf.[2]  Dalam proses peniruan terhadap tindakan-tindakan Muhammad dan aktifitasnya yang disebarkan melalui hadis, maka kehidupan Islam mempunyai keseragaman yang unik dalam perilaku sosial, suatu fakta yang telah selalu mengesankan orang-orang yang berkunjung keseluruh bagian dunia muslim.[3]

Schimmel menyadari bahwa Muhammad benar-benar merupakan contoh dan teladan bagi setiap penganut Islam, yang diseru untuk menirunya dalam setiap tindakan dan kebiasaan yang tampaknya remeh, akan sama takjubnya melihat cara para sufi mengembangkan doktrin tentang nur (cahaya primordial) Muhammad dan memberikan kepadanya, dalam kedudukannya sebagai manusia sempurna, suatu status dan fungsi yang hampir kosmik.[4]

Kedudukan al-Qur’an secara fenomenologi, sejajar dengan kedudukan Kristus dalam agama Kristen. Kristus adalah Inkarnasi firman ilahi, al-qur’an adalah Inlibrasi firman ilahi. Oleh sebab itulah maka kedua perwujudan firman ilahi ini yang harus diperbandingkan, karena baik dalam pengertian teologikal maupun fenomenologikal Muhammad tidak dapat disamakan dengan Kristus dalam agama Kristen, sehingga kaum muslim menolak untuk dinamakan kaum “Muhammad”, yang menurut mereka mengisyaratkan kesejajaran yang keliru dengan konsep orang-orang “Kristen”. Muhammad, seperti dalam “Jalan Muhammad”, digunakan dalam kaitan-kaitan khusus, biasanya oleh para sufi yang berusaha menyamai contoh Nabi bahkan melebihi yang lain-lainnya.[5]

Peniruan terhadap tindakan-tindakan dan pemikiran-pemikiran luhur Muhammad, “teladan yang baik”, yang diajarkannya kepada umatnya melalui contoh pribadi, dimaksudkan untuk membentuk setiap orang muslim, seakan-akan seperti Rasul Allah itu. Demikianlah sehingga
setiap orang, seperti juga dirinya harus memberikan kesaksian akan keesaan Tuhan melalui semua perbuatan dan eksistensinya.[6]

Kepatuhan kepada Nabi tampaknya telah memainkan suatu peranan penting, dan mungkin paling utama dalam suatu perkembangan tasawuf. Dalam dua kesaksian iman, la ilaha illa Allah Muhammadur rasul Allah, “tidak ada Tuhan kecuali Allah, (dan) Muhammad adalah utusan Allah”, paruhan kedua, yang mendefinisikan Islam sebagai suatu agama yang khas, merupakan seperti yang dinyatakan secara tepat oleh Can’twell Smith, “sebuah pernyataan mengenai Tuhan dalam aktifitasnya di dunia dan bukan tentang pribadi Nabi. Sebab dengan mengutus Nabi-Nya kepada dunia, Nabi adalah menurut Nathan Soderblom, “Suatu aspek dari aktifitas Tuhan”. Muhammad telah di tonjolkan oleh Tuhan ; dia benar-benar orang pilihan, Al-Musthafa, dan karena alasan ini maka sunnahnya, cara hidupnya, menjadi satu-satunya aturan perilaku yang sah bagi kaum muslim. Seperti dikatakan oleh Nabi : “siapa yang tidak mencintai sunnahku tidak termasuk dalam golonganku”. Sebab Muhammad adalah benar-benar sebagaimana dikatakan al-qur’an seorang uswatun khasanah, “teladan yang baik”.[7]

Dalam pengertian teori keagamaan Islam klasikal, sunnah Muhammad terdiri atas tindakan-tindakan nya (fi’il), kata-katanya (qawl), dan perseetujuannya yang diam-diam terhadap fakta-fakta tertentu (taqrir). Cara bertingkah lakunya yang dinilai baik atau setidaknya cara yang dianggap cukup baik dan terbukti secara historikal benar menjadi nilai normatif bagi generasi-generasi sesudahnya setidak-tidaknya sejak abad kedua Islam. Dikarenakan pentingnya teladan baik Nabi, ilmu hadis lambat laun menempati kedudukan utama dalam kebudayaan Islam.[8]

2.      Muhammad Rahmat Bagi Alam Semesta


Riwayat-riwayat yang menonjolkan kelembutan dan kebaikan Muhammad selalu mengacu kepada pernyataan al-qur’an bahwa Muhammad di utus “sebagai Rahmat bagi seluruh alam semesta (Q S Al- Anbiya, 21 : 107).[9]

Meskipun beribu-ribu doa dan syair membicarakan tentang harapan kaum muslim akan upaya penengahan Muhammad untuk diri mereka sendiri dan keluarga mereka, ada satu sarana untuk mencapai tujuan ini yang jauh lebih kuat dibanding yang lain-lainnya : memohon kepada allah
agar memberkahi Muhammad dan keluarganya. Al-Qur’an sendiri menyatakan (Q.S 33 : 56) bahwa Allah dan para malaikat-nya“mendoakan”, yaitu bersholawat atas Nabi. Dapatkah orang beriman melakukan sesuatu yang lebih baik dari pada mengikuti contoh yang diberikan oleh Allah sendiri ? dalam kenyataannya, Rumi menjelaskan bahwa “perbuatan menghamba dan memuja serta memperhatikan ini, tidak berasal dari kita, dan kita tidak bebas melakukannya, itu milik Allah ; itu bukan milik kita, tetapi milik-Nya. Kalimat shalawat sholla Allahu ‘alaihi
wa sallam, “Allah memberkahinya dan memberikan kedamaian kepadanya” dikenal sebagai tashliyah, sholat ‘ala Muhammad atau (dalam bentuk jamak) sholawat syarifah, telah digunakan sejak masa paling awal, dan kaum muslim yang saleh tidak akan pernah menyebut nama Nabi atau mengacu kepadanya tanpa menambahkan kata-kata itu.[10]

Salah satu makna shalawat adalah “rahmat”. Jadi, ketika Allah bershalawat kepada Nabi mengandung arti bahwa dia senantiasa mencurahkan rahmat-Nya kepada Nabi. Dengan demikian, Nabi Muhammad dapat disebut sebagai “manusia rahmat”, karena dalam dirinya
selalu tercurah rahmat Allah dan kemudian rahmat tersebut dia sebarkan bagi seluruh umat manusia. Sehingga, dengan demikian layaklah kalau beliau disebut sebagai pembawa “rahmat bagi semesta alam”.

Kecintaan kita kepada Nabi agar memperoleh rahmat Allah, pertama-tama harus ditujukan kepada kecintaan dan keterikatan kita pada al-qur’an. Dan untuk dapat mengikuti al-Qur’an  mestilah mengikuti Nabi. Karena, seperti dinyatakan dalam hadis, akhlak Nabi adalah al-qur’an. Ini mengandung arti bahwa seluruh kepribadian Nabi merupakan gambaran hidup dari al-qur’an, dan dengan demikian ini merupakan bentuk kongkret dari pengalaman ajaran Islam.

3.      Nur Muhammad dan tradisi tasawuf

Bahwasannya kejadian alam ini pada mulanya ialah dari Hikatul Muhammadiyah, atau Nur Muhammad. Nur Muhammad itulah asal segala kejadian. Hampir samalah perjalanan persamaannya itu dengan renungan ahli filsafat yang mengatakan bahwa mula terjadi ialah “Aqal Pertama”. Dalam tasawuf makhluk yang pertama sekali diciptakan oleh Allah SWT
dan setelah itu baru diciptakan alam yang lainnya. Nur Muhammad sering juga disebut Hakikat Muhammad atau Roh Muhammad. Untuk pertama kalinya, konsep Nur Muhammad dibawa oleh sufi Ibnu Arabi.

Konsep Nur Muhammad dibawanya sehubungan dengan pencapaian manusia atau sufi pada derajat insal kamil (manusia sempurna), yaitu manusia yang sudah mencapai tingkat tertinggi dari sifat kemanusiaannya atau manusia yang memiliki Nur Muhammad, Hakikat Muhammad atau Roh Muhammad tersebut. Menurut Ibnu Arabi, insan kamil merupakan wahdatul wujud (kesatuan wujud) antara manusia sebagai al-khalq dan hakikat Yang Esa atau al-Haqq

Konsep ini berbeda dengan konsep hulul yang dikembangkan oleh al-Hallaj. Menurut al-Hallaj puncak pencapaian seseorang sufi adalah apabila ia telah mencapai hulul, yaitu faham yang menyatakan Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk diambil tempat didalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada didalam tubuh manusia itu dihancurkan. Ini dimungkinkan karena dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan Tuhan memiliki sifat nasut (kemanusiaan).


[1] Haidar Bagir (Kata Pengantar) dalam Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi :
Memahami Islam Secara Fenomenologis, Mizan, Bandung, 1996, hlm 14
[2] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Mizan, Bandung, 1992
[3] Annemarie Schimmel, Dan Muhammad adalah Utusan Allah, hlm 51
[4] Ibid, hlm 14
[5] Ibid, hlm 41
[6] Ibid, hlm 83
[7] Ibid, hlm 43
[8] Ibid, hlm 44
[9] Ibid, hlm 119
[10] Annemarie Schimmel, Dan Muhammad … hlm 133

0 komentar:

Posting Komentar