A.
Biografi dan dan
Karakteristik Pemikiran Annemarie Schimmel
Annemarie
Schimmel berasal dari Jerman dia adalah seorang profesor
studi-studi agama pada Departemen of Near Eastern Languagees Harvard
University. Amerika Serikat, ahli sufisme, guru besar ilmu kultur Indo-Muslim,
dan ahli fenomenologi. Ia adalah seorang ahli dibidang ilmu-ilmu Islam yang
terkemuka dan telah banyak mengahsilkan karya-karya berbobot dibidang
studi-studi Islam.
Pada
Oktober 1995 dia menjadi sasaran kecaman 200 penerbit, toko buku dan kaum
pelajar Jerman sehubungan dengan pengumuman “German Book Trades” yang menyatakan
terpilih sebagai pemenang hadiah perdamaian. Lembaga ini memilih Schimmel
berkat jasanya dalam membantu menciptakan saling pengertian antara orang Barat
dan kaum muslim lewat puluhan buku dan ratusan karya tulisnya tentang Islam. Selain
sebagai orang yang memiliki otoritas yang luar biasa dalam kajian sufisme di
Barat, wanita jenius yang meraih gelar doktor di bidang studi Islam pada usia
21 tahun itu dihormati sebagai mutiara yang telah memberikan pemahaman lebih
baik mengenai Islam kepada dunia Barat.
Schimmel
adalah orang yang sangat simpatik terhadap Islam. Dialah orang yang berusaha
memahami Islam melalui pendekatan Fenomologi. Buat Schimmel, satu-satunya
metode yang sah dalam mempelajari dan mengungkapkan Islam adalah fenomenologi.
Islam harus dilihat dan dipahami sebagaimana orang Islam memahaminya Latar
belakang kehidupannya, sejak kecil ia telah terbiasa mendengarkan puisi Jerman
klasik dan Perancis di bacakan ayahnya, sangat berpengaruh pada corak
pemikirannya kemudian, kecintaannya pada bidang sastra, kemudian Schimel
menerjemahkan puisi sastrawan arab, persia, urdu, turki, dan sidhi ke dalam
bahasa jerman. Bahkan ia telah merampungkan kumpulan puisi yang berjudul
Nightingale Under The Snow, ketika ia mengajar di Universitas Harvard.
Dari
situ, memang jelas bahwa Schimmel adalah seorang orientalis, namun tidak adil
rasanya jika Schimmel diposisikan seperti para orientalis lain yang hanya
mengakaji Islam dari kacamata Barat dan cenderung mendasarkan pada latar
belakang blibikal mereka yang secara umum keliru dalam menangkap kata hati kaum
muslim. Sedangkan Schimmel, dalam semua karyanya mendasarkan diri pada
sumber-sumber asli setempat yang justru mampu mengungkap secara jernih, indah,
apa adanya dan cermat tentang Islam.
Metode
yang digunakan Schimmel dalam memahami Islam adalah fenomenologi. Karena bagi
Schimmel adalah satu-satunya metode yang sah untuk mempelajari dan
mengungkapkan Islam. Islam harus dilihat dan dipahami sebagaimana orang Islam
memahaminya. Concern para peneliti dan filosof agama mengenai fenomenologi,
belakangan ini telah melahirkan suatu pendekatan yang dikenal sebagai
“Fenomenologi Agama”.
Namun,
Satu kritik yang patut dilontarkan terhadap pemikiran Schimmel adalah karena
metode pendekatan yang ia gunakan adalah Fenomenologi, maka Fenomena-Fenomena
agama hampir dapat dipastikan (harus) selalu identik dengan pengalaman
keagamaan mayoritas (maesa) penganutnya, Yakni dengan manifestasi populernya.
Karena itu tak aneh jika pemikirannya selalu mencakup mitos-mitos dan
simbolisme-simbolisme sakral. Disamping itu, fenomena
keagamaan
yang dikaji Schimmel terbatas pada apa yang sepenuhnya bersifat subjektif dan
personal, karena dipahami sebagai apa yang “menampakkan diri dalam jiwa
orang-orang beriman”, sehingga agama cenderung di identikkan dengan mistisme[1].
Oleh
karena itu, bukan sesuatu hal yang aneh jika pemikirannya Schimmel punya
kecenderungan mistikal. Bagi para peneliti yang tidak sejalan dengannya,
kelemahan-kelemahan dijadikan landasan kritik, bahwa Schimmel memahami Islam
secara parsial, karena dalam Islam aspek-aspek Profon terbukti tidak
kalah vital. Menurut mereka Schimmel juga tidak sepenuhnya Fair
terhadap
agama-agama lain yang lebih spiritual.
B. Pandangan Annemarie Schimmel Tentang
Muhammad
1.
Muhammad Teladan Yang Baik
Muhammad
dikatakan oleh Schimmel adalah seorang sufi yang sempurna dan merupakan mata
rantai pertama dalam rangkaian rohani tasawuf.[2]
Dalam proses peniruan terhadap
tindakan-tindakan Muhammad dan aktifitasnya yang disebarkan melalui hadis, maka
kehidupan Islam mempunyai keseragaman yang unik dalam perilaku sosial, suatu
fakta yang telah selalu mengesankan orang-orang yang berkunjung keseluruh
bagian dunia muslim.[3]
Schimmel
menyadari bahwa Muhammad benar-benar merupakan contoh dan teladan bagi setiap
penganut Islam, yang diseru untuk menirunya dalam setiap tindakan dan kebiasaan
yang tampaknya remeh, akan sama takjubnya melihat cara para sufi mengembangkan
doktrin tentang nur (cahaya primordial) Muhammad dan memberikan
kepadanya, dalam kedudukannya sebagai manusia sempurna, suatu status dan fungsi
yang hampir kosmik.[4]
Kedudukan
al-Qur’an secara fenomenologi, sejajar dengan kedudukan Kristus dalam agama
Kristen. Kristus adalah Inkarnasi firman ilahi, al-qur’an adalah Inlibrasi
firman ilahi. Oleh sebab itulah maka kedua perwujudan firman ilahi ini yang harus
diperbandingkan, karena baik dalam pengertian teologikal maupun fenomenologikal
Muhammad tidak dapat disamakan dengan Kristus dalam agama Kristen, sehingga
kaum muslim menolak untuk dinamakan kaum “Muhammad”, yang menurut mereka
mengisyaratkan kesejajaran yang keliru dengan konsep orang-orang “Kristen”. Muhammad,
seperti dalam “Jalan Muhammad”, digunakan dalam kaitan-kaitan khusus, biasanya
oleh para sufi yang berusaha menyamai contoh Nabi bahkan melebihi yang
lain-lainnya.[5]
Peniruan
terhadap tindakan-tindakan dan pemikiran-pemikiran luhur Muhammad, “teladan
yang baik”, yang diajarkannya kepada umatnya melalui contoh pribadi,
dimaksudkan untuk membentuk setiap orang muslim, seakan-akan seperti Rasul
Allah itu. Demikianlah sehingga
setiap
orang, seperti juga dirinya harus memberikan kesaksian akan keesaan Tuhan
melalui semua perbuatan dan eksistensinya.[6]
Kepatuhan
kepada Nabi tampaknya telah memainkan suatu peranan penting, dan mungkin paling
utama dalam suatu perkembangan tasawuf. Dalam dua kesaksian iman, la ilaha
illa Allah Muhammadur rasul Allah, “tidak ada Tuhan kecuali Allah, (dan)
Muhammad adalah utusan Allah”, paruhan kedua, yang mendefinisikan Islam sebagai
suatu agama yang khas, merupakan seperti yang dinyatakan secara tepat oleh Can’twell
Smith, “sebuah pernyataan mengenai Tuhan dalam aktifitasnya di dunia dan bukan
tentang pribadi Nabi. Sebab dengan mengutus Nabi-Nya kepada dunia, Nabi adalah
menurut Nathan Soderblom, “Suatu aspek dari aktifitas Tuhan”. Muhammad telah di
tonjolkan oleh Tuhan ; dia benar-benar orang pilihan, Al-Musthafa, dan karena
alasan ini maka sunnahnya, cara hidupnya, menjadi satu-satunya aturan perilaku
yang sah bagi kaum muslim. Seperti dikatakan oleh Nabi : “siapa yang tidak
mencintai sunnahku tidak termasuk dalam golonganku”. Sebab Muhammad adalah benar-benar
sebagaimana dikatakan al-qur’an seorang uswatun khasanah, “teladan yang
baik”.[7]
Dalam
pengertian teori keagamaan Islam klasikal, sunnah Muhammad terdiri atas
tindakan-tindakan nya (fi’il), kata-katanya (qawl), dan perseetujuannya yang
diam-diam terhadap fakta-fakta tertentu (taqrir). Cara bertingkah lakunya yang
dinilai baik atau setidaknya cara yang dianggap cukup baik dan terbukti secara
historikal benar menjadi nilai normatif bagi generasi-generasi sesudahnya
setidak-tidaknya sejak abad kedua Islam. Dikarenakan pentingnya teladan baik
Nabi, ilmu hadis lambat laun menempati kedudukan utama dalam kebudayaan Islam.[8]
2.
Muhammad Rahmat Bagi
Alam Semesta
Riwayat-riwayat
yang menonjolkan kelembutan dan kebaikan Muhammad selalu mengacu kepada
pernyataan al-qur’an bahwa Muhammad di utus “sebagai Rahmat bagi seluruh alam
semesta (Q S Al- Anbiya, 21 : 107).[9]
Meskipun
beribu-ribu doa dan syair membicarakan tentang harapan kaum muslim akan upaya
penengahan Muhammad untuk diri mereka sendiri dan keluarga mereka,
ada satu sarana untuk mencapai tujuan ini yang jauh
lebih kuat dibanding yang lain-lainnya : memohon kepada allah
agar
memberkahi Muhammad dan keluarganya. Al-Qur’an sendiri menyatakan (Q.S 33 : 56)
bahwa Allah dan para malaikat-nya“mendoakan”, yaitu bersholawat atas Nabi.
Dapatkah orang beriman melakukan sesuatu yang lebih baik dari pada mengikuti
contoh yang diberikan oleh Allah sendiri ? dalam kenyataannya, Rumi menjelaskan
bahwa “perbuatan menghamba dan memuja serta memperhatikan ini, tidak berasal
dari kita, dan kita tidak bebas melakukannya, itu milik Allah ; itu bukan milik
kita, tetapi milik-Nya. Kalimat shalawat sholla Allahu ‘alaihi
wa
sallam, “Allah memberkahinya dan memberikan
kedamaian kepadanya” dikenal sebagai tashliyah, sholat ‘ala Muhammad atau
(dalam bentuk jamak) sholawat syarifah, telah digunakan sejak masa
paling awal, dan kaum muslim yang saleh tidak akan pernah menyebut nama Nabi
atau mengacu kepadanya tanpa menambahkan kata-kata itu.[10]
Salah
satu makna shalawat adalah “rahmat”. Jadi, ketika Allah bershalawat kepada Nabi
mengandung arti bahwa dia senantiasa mencurahkan rahmat-Nya kepada Nabi. Dengan
demikian, Nabi Muhammad dapat disebut sebagai “manusia rahmat”, karena dalam
dirinya
selalu
tercurah rahmat Allah dan kemudian rahmat tersebut dia sebarkan bagi seluruh
umat manusia. Sehingga, dengan demikian layaklah kalau beliau disebut sebagai
pembawa “rahmat bagi semesta alam”.
Kecintaan
kita kepada Nabi agar memperoleh rahmat Allah, pertama-tama harus ditujukan
kepada kecintaan dan keterikatan kita pada al-qur’an. Dan untuk dapat mengikuti
al-Qur’an mestilah mengikuti Nabi. Karena,
seperti dinyatakan dalam hadis, akhlak Nabi adalah al-qur’an. Ini mengandung
arti bahwa seluruh kepribadian Nabi merupakan gambaran hidup dari al-qur’an,
dan dengan demikian ini merupakan bentuk kongkret dari pengalaman ajaran Islam.
3.
Nur Muhammad dan
tradisi tasawuf
Bahwasannya
kejadian alam ini pada mulanya ialah dari Hikatul Muhammadiyah, atau Nur
Muhammad. Nur Muhammad itulah asal segala kejadian. Hampir samalah perjalanan persamaannya
itu dengan renungan ahli filsafat yang mengatakan bahwa mula terjadi ialah
“Aqal Pertama”. Dalam tasawuf makhluk yang pertama sekali diciptakan oleh Allah
SWT
dan
setelah itu baru diciptakan alam yang lainnya. Nur Muhammad sering juga disebut
Hakikat Muhammad atau Roh Muhammad. Untuk pertama kalinya, konsep Nur Muhammad
dibawa oleh sufi Ibnu Arabi.
Konsep
Nur Muhammad dibawanya sehubungan dengan pencapaian manusia atau sufi pada
derajat insal kamil (manusia sempurna), yaitu manusia yang sudah mencapai
tingkat tertinggi dari sifat kemanusiaannya atau manusia yang memiliki Nur
Muhammad, Hakikat Muhammad atau Roh Muhammad tersebut. Menurut Ibnu Arabi,
insan kamil merupakan wahdatul wujud (kesatuan wujud) antara manusia sebagai
al-khalq dan hakikat Yang Esa atau al-Haqq
Konsep
ini berbeda dengan konsep hulul yang dikembangkan oleh al-Hallaj. Menurut
al-Hallaj puncak pencapaian seseorang sufi adalah apabila ia telah mencapai
hulul, yaitu faham yang menyatakan Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
diambil tempat didalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada didalam
tubuh manusia itu dihancurkan. Ini dimungkinkan karena dalam diri manusia
terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan Tuhan memiliki sifat nasut (kemanusiaan).
[1]
Haidar Bagir (Kata Pengantar) dalam Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci
Ilahi :
Memahami
Islam Secara Fenomenologis, Mizan, Bandung, 1996, hlm 14
0 komentar:
Posting Komentar