Sabtu, 21 Februari 2015



Sejarah Orientalisme
A.    Pendahuluan
Orientalisme bukanlah faham atau kelompok baru. Kajian ketimuran ini telah lama berlangsung dan terus berlangsung hingga kini. Banyak pemikiran, penemuan yang didapat para orientalis dalam upayanya melemahkan dan menguasai dunia Timur khususnya Islam. Karenanya pemahaman tentang pengertian, akar sejarah serta objek penelitian ini sangatlah diperlukan. Bukan saja orientalis mampu mewarnai faham ke-Islaman dari sudut pandang Barat namun juga untuk menempatkan lagi posisi pemahaman tentang dunia Timur dalam sudut pandang ke-Timuran itu sendiri. Karena banyak faham yang akhirnya menyesatkan umat Islam dalam keislamannya ataupun sekedar memperkaya sudut pandang pemahaman.
Fakta menunjukkan penelitian tentang dunia Timur yang secara meluas dan upaya untuk sebaliknya meneliti dunia Barat belum cukup signifikan dalam upayanya membangkitkan semangat ke-timuran khususnya dari dunia Islam, ini sangat disayangkan. Inilah yang menjadi titik balik dari perlunya mahasiswa Islam untuk mengkaji dan meneliti orientalisme.
B.     Pengertian Orientalisme
Orientalisme secara bahasa berasal dari kata orient, bahasa Prancis, yang berarti timur, lawan kata dari occident yang berarti barat.[1] Pengertian orientalisme menurut  H.M. Joesoef sou’yb tidak jauh berbeda namun beliau menjabarkan yaitu bahwa orientalisme secara geografis berarti dunia belahan timur dan secara etnologis berarti bangsa-bangsa di Timur. Kata oriental adalah sebuah kata sifat yang berarti hal-hal yang bersifat Timur, yang sangat luas ruang lingkupnya meliputi bahasa, agama, kebudayaan, sejarah, ilmu bumi, etnografi, kesusasteraan dan kesenian yang berasal dari Timur sebagaimana ditambahkan oleh Abdul Haq Adnan Adifar. Isme (Belanda: isme, Inggris: ism) sendiri menunjukkan pengertian tentang suatu faham. Kesimpulannya orientalisme berarti suatu faham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur beserta lingkungannya.[2]
Ahmad Hanafi mengemukakan bahwa “orientalis adalah segolongan sarjana barat yang mendalami bahasa dunia Timur dan kesusasteraannya, dan mereka yang menaruh perhatian besar terhadap agama-agama dunia Timur, sejarahnya, adat istiadatnya, dan ilmu-ilmunya.”[3]
Di samping itu, ada beberapa pengertian yang hampir sama tentang istilah orientalisme. Hal ini dimaksudkan untuk dapat memberikan pengertian yang lebih mendetail, yaitu sebagai berikut:
§  Pengertian yang merupakan definisi yang dibatasi oleh kata orientalisme itu sendiri, yaitu metode berpikir ala Barat. Metode inilah yang menjadi landasan dalam menilai dan memperlakukan segala sesuatu, bahwa disana ada perbedaan yang fundamental antara Barat dan Timur, baik dalam eksistensi maupun dalam sains teknologi.
§  Orientalisme merupakan studi akademis yang dilakukan oleh bangsa Barat dari negara-negara imperialis mengenai dunia Timur dengan segala aspeknya, baik mengenai sejarah, pengetahuan, bahasa, agama, tatanan sosial politik, hasil bumi, serta semua potensinya.
§  Definisi ketiga, seperti yang diungkapkan Edward Said: “Orientalisme merupakan kajian atau metode Barat untuk mencaplok bangsa Timur, dengan kedok hendak memperbaiki dan memajukan (politik ataupun pemikiran), demi memperlancar kekuasaannya disana”.
§  Orientalisme adalah kajian akademis, yang dilakukan oleh bangsa Barat yang kafir –khususnya dari kalangan ahlul kitab- tentang Islam dan umat Islam dalam segala aspek baik mengenai akidah, syariat, pengetahuan, kebudayaan, sejarah, aturan dan peraturan, hasil bumi dan potensinya. Tujuannya untuk merusak dan mengotori citra Islam, meniupkan keragu-raguan kepada kaum muslimin akan kebenaran dan kepercayaan mereka terhadap ajarannya, menyesatkan kaum muslimin dari jalan yang diharuskan oleh syariatnya. Kemudian dengan berbagai cara diupayakan agar kaum muslimin mau mengikuti ajaran dan pemikiran Barat. Dalam usahanya, kaum orientalis mencoba dengan tipu dayanya untuk mengelabui bahwa semua kajian itu seolah ilmiah dan objektif. Karena mereka merasa adanya keunggulan dan kelebihan ilmu pengetahuan yang dimiliki bangsa Barat atas bangsa Timur yang Islam.[4]

C.    Sejarah Orientalisme
Husain Haikal berpendapat bahwa penyebab atau awal mula orientalisme ialah karena pergesekan orang Islam dan Romawi dalam perang Mut’ah (8 H.) dan perang Tabuk ( H.), dimana terjadi kontak pertama kali antara orang-orang Romawi dengan orang-orang Muslim.
Sebagian lainnya berpendapat bahwa orientalisme muncul pada peperangan berdarah antara umat Islam dan Kristen di Andalusia setelah Alfonso VI mampu menaklukkan Toledo pada tahun 488 H (1085 M). Lahirlah gerakan tobat dan penghapusan dosa yang berpusat di Kluni dan dipimpin oleh Santo Peter the Venerable dari Prancis. Lalu lahirlah gerakan Kristen Spanyol dan menetapkan Kristen Katholik Romawi sebagai agama yang benar.
Sedangkan sebagian lainnya menulis bahwa orientalisme lahir sebagai akibat dari perang salib atau ketika dimulainya pergesekan politik dan agama antara Islam dan Kristen di Palestina. Terutama pada masa pemerintahan Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayubi dan terus berlanjut pada masa al-Adil. Kekalahan beruntun yang ditimpakan Islam terhadap pasukan salib inilah yang memunculkan kekuatan baru yakni mengkaji Islam dari sisi agama maupun budaya agar dapat membalas kekalahannya.
Sebagian lagi berpendapat bahwa orientalisme lahir karena kebutuhan barat menolak Islam dan untuk mengetahui penyebab kekuatan umat Islam terutama setelah jatuhnya Konstantinopel pada tahun 857 H (1453 M). Meski di kalangan teologi orientalisme lahir akibat kebutuhan dalam memahami intelektualitas Semit kaitannya dengan Taurat dan Injil.[5]
Hubungan dunia barat dengan dunia timur ini sendiri sebenarnya telah dimulai sejak masa kejayaan Islam karena pada waktu itu orang-orang barat berbondong-bondong untuk belajar segala ilmu pengetahuan dan kebudayaan dunia Timur, khususnya Islam. Hal ini terjadi sekitar abad ke-X Masehi.[6] Setidaknya terdapat dua fase dalam penyelidikan terhadap dunia timur yang digencarkan oleh para orientalis, yaitu:
§  Mempelajari, mendalami ilmu-ilmu yang dimiliki oleh kaum muslimin berupa ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu matematika, ilmu astronomi, dan ilmu-ilmu yang lainnya dalam bahasa Arab untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa latin yang merupakan bahasa ilmu pengetahuan  dan kesusasteraan pada waktu itu. Pelopornya ialah para pemuka agama Masehi dibantu dengan orang-orang Yahudi.[7]
§  Mempelajari bahasa-bahasa dunia Timur terutama bahasa Arab beserta kesusasteraannya.[8]    
Namun suatu hal yang perlu dicatat, bahwa orang-orang seperti Jerbert de Oraliac (938-1003 M.), Adelard of Bath (1070-1135), Pierre Le Venerable (1094-1156), Gerard de Gremona (1114-1187), Leonardo Fibonacci (1170-1241) dan lain-lain pernah tinggal di Andalus, dan mempelajari Islam di kota-kota seperti Toledo, Cordova, Sevilla, dan lain-lain. Sepulang dari Andalus – yang waktu itu masih dikuasai umat Islam – mereka menyebarkan ilmunya ke daratan Eropa. Misalnya, Jerbert de Oraliac yang kemudian terpilih menjadi Paus Sylvestre II (999-1003) mendirikan sekolah arab, masing-masing di Roma, tempat ia bermarkas sebagai Paus, dan di tempat kelahirannya di Perancis. Bahkan Robert of Chester dan kawannya Hermann Alemanus sepulang dari Andalus mereka menerjemahkan al-Qur’an ke Bahasa Latin yang di bantu dua orang Arab ini selesai pada tahun 1143. Dan ini merupakan terjemah al-Qur’an yang pertama kali dalam sejarah .
Nama-nama di atas tercatat sebagai orang-orang Eropa yang pertama kali melakukan kajian tentang islam yang kemudian lazim disebut dengan orientalisme.[9]
Gerakan penerjemahan besar-besaran didukung juga oleh para penguasa saat itu, diantaranya Frederick II, Raja Sicilia (1250), Alfonso, Raja Castile, selama berabad-abad sampai pada abad XVII M. Gerakan penerjemahan seperti ini juga pernah dilakukan oleh khalifah Al-Ma’mun yang pernah menerjemahkan sebagian besar kitab-kitab karya orang Yunani ke dalam bahasa Arab. Berita penerjemahan tersebut mulai tersebar luas di kalangan Raja-raja Eropa sehingga mereka turut andil dalam mendorong penerjemahan ini. Orang yang diduga melakukan penerjemahan awal adalah Paus Silverster II (999-1003), kemudian Hermann de Dalmatian (w. 1054) dan diikuti oleh Konstantin de African. Pada abad ke-XII Toledo menjadi pusat kemajuan ilmu pengetahuan Islam di Andalus. Para ahli penerjemah ke dalam bahasa latin yang terkenal di Toledo diantaranya Raymond yang menerjemahkan buku-buku tentang ilmu hitung, astronomi, kedokteran, filsafat dan sebagainya yang merupakan hasil karya sarjana-sarjana Islam seperti al-Farghani, Abu Ma’syar, al-Kindi, Ibnu Jabarul dan al-Ghazali. Begitu juga Plato of Tivoli, Adelard of Bath, John of Seville,dan lain-lain. Bahkan Gerard of Gremona mampu menerjemahkan kurang lebih 80 macam buku yang meliputi ilmu manthiq, filsafat, matematika, astronomi, fisika, kimia, dan lain-lain baik yang berasal dari Yunani maupun karya sarjana-sarjana Islam seperti al-Farabi, Tsabit ibnu Qurrah, Putra Musa bin Syakir, al-Khawarizmi, al-Kindi.
Dari sekian pendapat penulis sendiri berpendapat bahwa kajian tentang dunia Timur telah muncul sejak masa kejayaan Islam dan zaman kegelapan Barat terhadap bidang Ilmu Pengetahuan, karena sejak itu barat telah mulai mempelajari dunia Timur terutama Islam untuk berbagai kebutuhan serta kepentingan. Terlepas dari upaya propaganda dan provokasi dibalik usaha untuk mengkaji dunia Islam upaya orientalis dalam meneliti dunia Timur turut memperluas dan memperkenalkan dunia Timur secara keseluruhan. Karenanya pendapat yang terakhir merupakan hal yang lebih bisa diterima.

D.    Tujuan Orientalisme
Studi tentang ketimuran pada mulanya bertujuan untuk memiliki cara terbaik dan teladan untuk berinteraksi dengan negara-negara Islam yaitu dengan cara mengenal mentalitas bangsa tersebut, pemikiran, tradisi, dan etika penghormatannya dengan tujuan membantu kepentingan imperialisme. Studi ketimuran yang mereka agendakan adalah untuk beberapa tujuan yang diantaranya adalah untuk menciutkan keteladanan Isslam dan nilai-nilai luhurnya dari pandangan manusia dunia. Sedangkan dari segi yang lain adalah menetapkan bahwa negara Barat sebagai negara yang unggul, teladan, dan super power, serta memperlihatkan kepada dunia bahwa setiap dakwah untuk memeluk agama islam adalah sebagai suatu kemunduran dan keterbelakangan.
Oleh karena itu, mereka mengambil suatu metode dalam rangka menimbulkan keraguan pada bidang akidah, mencampurkan dalil-dalil, mengaburkan suatu kebenaran, mengada-ada dan memalsukan kebenaran yang sah. Selanjutnya mereka membenarkan segala macam hal cara untuk memudahkan dan memperoleh sesuatu yang mereka inginkan walaupun penuh dengan kedustaan.
Adapun tujuan-tujuan yang ingin mereka wujudkan adalah: membuat keraguan terhadap keabsahan al-Qur’an sebagai firman Allah; membuat keraguan terhadap kebenaran ajaran Nabi Muhammad; membuat keraguan terhadap urgensi bahasa arab sebagai bahasa yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan; membuat keraguan terhadap nilai-nilai fikih islami yang asasi; membuat keraguan terhadap nilai peninggalan kebudayaan islam dan ilmu pengetahuan yang ditemukan oleh cendikiawan muslim; melemahkan jiwa ukhuwah islamiyah diantara sesama umat islam di berbagai negara.[10]

E.     Ruang Lingkup Orientalisme
Orientalisme mempunyai pengertian yang sangat luas, karena langsung berkaitan dengan “hal-hal yang menyangkut bangsa-bangsa di dunia Timur beserta lingkungannya”, sehingga meliputi seluruh bidang kehidupan dan sejarah bangsa-bangsa di dunia Timur.
Dan kegiatan penyelidikan tersebut secara garis besar dilakukan pada berbagai bidang, yaitu bidang kepurbakalaan (archeology), sejarah (history), bahasa (linguistics), agama (religion), kesusasteraan (literatures), keturunan (ethnology), adat istiadat (customs), kekuasaan (politik), kehidupan (ekonomi), lingkungan (fauna dan flora), dan lain-lainnya. Maka dapat dibayangkan betapa luas ruang lingkup yang diliput oleh orientalis itu, yang betul-betul memerlukan ketekunan dan keahlian.
Faktor pendorong orientalisme / studi ke-Timur-an menurut Mushtafa Hasan as-Syiba’i ialah pertama, faktor agama, karena menurutnya pihak pendetalah yang mempropaganda secara meluas mengenai perlunya mengkaji dunia Timur terutama untuk misi agama Kristen (missionaris). Kedua, faktor Imperialisme, setelah kekalahan dalam perang Salib maka usaha untuk menguasai dunia Timur menjadi lebih diplomatis. Meneliti kelemahan dan kekuatan dunia Timur. Kemudian lagi, faktor perdagangan, politik, dan ilmiah.[11]
Dalam menganalisa faktor penyebab orientalisme sangatlah banyak, dan meskipun upaya ini didorong oleh usaha kolonialisasi terhadap Dunia Timur. Orientalis tidak semua memusuhi Islam dan menentang kebenaran Islam, justru dengan sulitnya menemukan kecacatan konsep Islam khususnya maka kebenaran tentang Islam akan terkuak dengan sendirinya. Tidak sedikit juga kalangan orientalis yang kemudian mengkritik balik ajaran Kristen yang mereka anut misalnya karena melihat kedinamisan konsep Islam.
F.     Penutup
Orientalisme merupakan gabungan dari kata oriental dan isme. Orient dalam bahasa Prancis sendiri berarti Timur baik secara geografis maupun etnologis. Sedangkan Ism dalam bahasa Inggris atau isme dalam bahasa Belanda berarti faham. Jadi orientalisme ialah suatu faham atau aliran yang mengkaji dan meneliti segala sesuatu tentang Dunia Timur baik dari segi agama-agama, kebudayaan dan peradaban maupun ilmu-ilmu didalamnya.
Sejarah orientalisme secara nyata telah berkembang sekitar abad ke-X M dan masih berlangsung hingga kini. Meskipun begitu pergesekan ini telah dimulai sejak masa kejayaan Islam dimana banyak sekali kaum Barat yang menimba ilmu dan belajar di Dunia Timur terutama Islam karena kejayaannya.
Ruang lingkup objek penelitian orientalisme ini sebenarnya sangat luas karena mencakup agama, budaya, bahasa, sastra, etnologis, politik dan sebagainya. Namun kajian orientalisme dalam cakupan sempitnya mengkaji ilmu-ilmu keagamaan khususnya teks-teks kitab suci dan faham serta konsep-konsep ke-Islaman.

Daftar Pustaka
Assamurai, Qasim. 1996. Bukti-bukti kebohongan Orientalis. penj: Syuhudi Ismail.           Jakarta: Gema Insani Press
As-Syiba’i, Musthafa Hassan. 1997. Membongkar Kepalsuan Orientalis. penj: Ibnu     Bardah. Yogyakarta: Mitra Pustaka
Buchari, Mannan. 2006.  Menyingkap Tabir Orientalisme. Jakarta: Amzah.
Hanafi, A.  1981. Orientalisme. Jakarta: Pustaka Al Husna
Umar, A. Muin. 1978. Orientalisme dan Studi Tentang Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Bathh, Hasanian, 2004, Anatomi Orientalisme, Jogjakarta: Menara Kudus


[1] Mannan Buchari, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: Amzah, 2006) hlm. 7.
[2] Ibid, H. 7-8.
[3] Ibid, H. 9.
[4] Mannan Buchari, H. 11-14.
[5] Qasim Assamurai, Bukti-bukti kebohongan Orientalis, penj: Syuhudi Ismail  (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) hlm. 26-29.
[6] A. Hanafi, Orientalisme (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1981) hlm. 9.
[7] Ibid, H. 9-10.
[8] A. Muin Umar, Orientalisme dan Studi Tentang Islam, (Jakarta:  Bulan Bintang, 1978) hlm. 9.
[9] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: pustaka Firdaus, 1995), H. 7-8.
[10] Hasanian Bathh, Anatomi Orientalisme, (Jogjakarta: Menara Kudus, 2004), H. 65-68.
[11] Musthafa Hassan as-Syiba’i,  Membongkar Kepalsuan Orientalis , penj: Ibnu Bardah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997) hlm. 21-27.


SELENGKAPNYA KLIK LINK DI BAWAH INI



m

0 komentar:

Posting Komentar