Selasa, 17 September 2019

I.                   Pendahuluan
Jika sesorang melukis wajah hanya meletakkan satu mata saja, tentu orang yang melihatnya akan segera mengoreksi bahwa gambar tersebut salah/keliru.akan tetapi, jika ia menggambarnya melalui cerimin, artinya ia melukis secara terbalik-lalu ia menyuguhkan lukisan tersebut kepada orang lain, maka tak ada yang menduga bahwa lukisan tersebut terbalik. Kondisi seperti ini, menurut Muhammad Shahrur terjadi pada penduduk bumi selama ratusan tahun. Yaitu ketika mereka berkeyakinan bahwa matahari mengelilingi bumi. Mereka tidak paham, hingaa ada salah seorang dari mereka yang menyatakan sebaliknya, bahwa sesungguhnya bumilah yang mengelilingi matahari.[1]
   Hal yang demikian ini, telah terjadi pula pada dunia Islam lebih dari 15 abad. Bahkan hingga ini, peradaban Islam masih saja menyuguhkan Islam sebagai aqidah tanpa menyentuh dimensi filosofis dalam aqidah Islam itu sendiri. Peradaban Islam dibangun di atas doktrin dan ajaran yang dianggap bagian dari Islam, padahal landasan tersebut sudah perlu dikaji ulang. Sehingga yang ada, peradaban Islam mengalami stagnasi dan tidak mampu memecahkan problem fundamental pemikiran Islam, karena memang masih dipenuhi dengan taqlid tentang konsep qadha dan qadar, paham Jabariyah, problematika pengetahuan, konsep negara, problem sosial-ekonomi, demokrasi dan penafsiran atas sejarah.[2]
   Kesimpulan umum yang diambil Shahrur adalah pemikiran Arab Kontemporer,temrasuk pemikiran Islam yang memiliki masalah-maslah mendasar. Seperti: pertama, tidak adanya teori Islam Kontemporer dalam ilmu humaniora yang disimpulkan secara langsung dari al-Quran. Yaitu sebuah teori yang mampu Islamisasi ilmu pengetahuan. Tidak adanya teori ini, menyebabkan umat Islam mengalami pembusukan pemikiran, fanatisme madzhab, terjebak pada pemikiran statis dan mewarisi kekacauan politik yang berlangsung selama ratusan tahun. Kedua, adanya prakonsepsi terhadap sebuah masalah sebelumkajian dilakukan. Salah satunya adalah masalah posisi “perempuan dalam Islam”. Ketiga, pemikiran Islam tidak memanfaatkan konsep-konsep dalam filsafat humaniora dan tidak berinteraksi dengan dasar-dasar teorinya. Karena sejatinya kita tidak mungkin mengatakan bahwa seluruh hasil pemikiran manusia sejak zaman Yunani hingga kini adalah sebuah kesalahan. Akan tetapi, kita harus berani dan berusaha mencari pemahaman yang benar (menurut Islam) pada konsep dan teori humaniora tersebut.[3]
Keempat, tidak adanya pegangan berupa metode ilmiah objektif. Para penulis muslim tidak pernah menerapkan metode ini terhadap teks-teks suci agama, yaitu ayat-ayat kitab suci yang diwahyukankepada Muhammad SAW., padahal syarat utama penelitian ilmiah yang objektif adalah melakukan studi teks tanpa mengikutsertakan sentimen apapun, karena tindakan sentimen hanya akan menjerumuskan peneliti ke dalam perangkap keraguannya, khususnya jika objek kajian berupa teks-teks keagamaan.
Kelima, saat ini kaum muslim sedang mengalami krisis ilmu fiqih. Kita butuh fiqih kontemporer dan pemahaman modern mengenai sunnah nabi. Problema ini semakin komplek tanpa adanya upaya penyelesaiain yang serius.[4]
   Sehingga bagaimnapun juga, hasil pemikiran Shahrur yang dianggap kontroversial dan liberal ini patut untuk diapresiasi dan sangat perlu dikaji dan dipertimbangkan dalam dunia pemikiran Islam. Semua ini dilakkukan supaya kaum muslimin bisa terbebas dari pikiran-pikiran sempit yang membelenggu, sehingga mereka mampu menghadapi tantangan-tantangan pemikiran kontemporer. Kendatipun menurut Amin Abdullah, akar pertama yang menjadi konroversi itu adalah kurang kuatnya landasan pada kerangka teoritik (khususnya dalam ilmu ushul fiqh yang ada sebelumnya). Namun perlu kita sadari juga bahwa suatu ilmu itu tidak harus berjalan secara evolutif yang selalu berpijak pada teori-teori lama sebelumnya, tapi bisa saja dengan cara revolutif, di mana sebuah ilmu tidak sama sekali berpijak pada teori-teori yang ada sebelumnya, tetapi benar-benar menawarkan sebuah paradigma yang baru.[5]
II.                Pembahasan
A.                      Biografi Singkat Muhammad Shahrur
Muhammad Shahrur adalah pemikir liberal (muslim kiri) asal Damaskus, Syiria. Ia dilahirkan di perepmpatan Sahiliyah, Damaskus pada tanggal 11 April 1938, Syiria. Ia merupakan putra ke lima dari seorang tukang celup yang bernama Daib. Sedangkan ibunya bernama Shiddiqah binti Shaleh Filyun.
Jenjang pendidikan Shahrur sebagaimana anak-anak lainnya, yaitu diawali dari madrasah ibtidaiyyah, i’dadiyyah (sederaajat SLTP) dan Tsanawaiyah (sederajat SLTA) di Damaskus. Dalam usianya yang ke-19, Shahrur memperoleh ijazah Tsanawiyah dari Madrasah Abdurrahman al-Kawakibi pada tahun 1957 M. Namun, perlu dicatat, sekolah-sekolah ini bukanlah sekolah keagamaan. Dengan kata lain, ia tidak mengeyam pendidikan agama yang cukup di masa kecil dan remajanya.
Kecerdasannya terbukti dengan beasiswa yang ia peroleh dari pemerintah Syiria ke Moskow, Rusia untuk melanjutkan kuliah di bidang teknik sipil (al-Handasah al-Madaniyyah) pada Maret 1957 M. Jenjang pendidikan ini ia tempuh selama lima tahun mulai 1959 M hingga berhasil meraih gelar diploma (S1) pada tahun 1964. Pada tahun 1969 Shahrur meraih gelar Masternya. Dan tiga tahun kemudian, tahun 1972, beliau berhasiil menyelesaikan program doktoralnya.[6] Hingga pendidikan tinggi tersebut, ia tidak bergabung dengan institusi Isalam manapun. Dan ia juga tidak pernah mengikuti pelatihan resmi atau memperoleh sertifikat dalam ilmu-ilmu ke-Islaman.
Karya-karya yang ia tulis di antaranya: al-Kitab wa al Quran Qira’at al-Mu’ashirah (1990), al-Daulah al-Mujtama’ (1994), al Islam wa al-Iman al-Mandzumah al-Qiyam (1996), Nahw al-Usul al Jadidah li al-Fiqhi al-Islami (2000), dan Tafir Manabi al-Irhab (2008). Dari bebrapa karyanya tersebut, yang paling populer dan memperoleh perhatian yakni al-Kitab wa al-Quran Qiraat al-Mu’ashirah (Tela’ah Kontemporer al-Kitab dan al-Quran) dan Nahw al-Usul al Jadidah li al-Fiqhi al-Islami (Metodologi Fiqih Islam Kontemporer). Karya monumentalnya: al-Kitab wa al-Quran Qiraat al-Mu’ashirah merupakan karya tebesarnya. Namun tulisannya ini sudah dikritik hingga 15 buku pada waktu singkat setelah terbitnya di Damaskus pada tahun 90-an.
Sebenarnya, melihat latar belakang pendidikan Shahrur seperti yang dijelaskan di awal. Menunjukkan bahwa Shahrur bukanlah seorang mufassir (pakar tafsir), ahli fiqih dan Ushul fiqh, ataupun bahasa. Namun meskipun demikiain, ia sering melibatkan dirinya dalam isu-isu liberalisasi syari’at dan dekontruksi tafsir al-Quran. Beberapa hukum Islam dan kaidah ilmu tafsir dan Ushul fiqh didekontruksinya dengan berbekal ilmu teknik dan mengandalkan asal-usul kearabannya. Latar belakang lingkungan, baik pendidikan dan pergaulannya juga sangat mempengaruhi cara berpikir dalam karya-karyanya.
B.                       Latar Belakang Pemikiran Muhammad Shahrur
Muhammad Shahrur adalah salah satu dari pemikir Islam Kontemporer. Ia seperti halnya Fazlur Rahman, Abid al-Jabiri, Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, dan pemikir-pemikr Islam lainnya. Ia menawarkan sebuah pemahaman dan pemikiran baru yang berbeda dengan mainstream yang selama ini berkembang di duina Islam. Sekaligus ia berusaha menyingkap kesalahan dalam memahami teks yang sering kali dilakukan secara hitam putih, memutlakan satu sisi dan merelatifkan yang lain atau bahkan menyalahkannya. Jika seperti itu, menurut Dr. Ja’far Dikk al-Bab, guru sekaligus teman yang menginspirasi Shahrur dalam karyanya  : al-Kitab wa al Quran al-Qiraat al-Mu’ashirah, maka yang demikian itu merupakan bentuk penyimpangan dalam memahami teks karena dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan.
Ia sadar betul, dalam pemikiran Arab kontemporer, termasuk di dalamnya adalah pemikiran Islam itu masih memiliki masalah-masalah mendasar. Pertama, tidak adanya pegangan
   Dari situ, Muhammad Shahrur berusaha melakukan pembacaan baru sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Allah untuk menjaganya[7] berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut.
1.                        Memaksimalkan seluruh potensi karakter linguistik arab dengan bersandar pada tiga pondasi, yaitu metode Linguistik Abu Ali al-Farisi, perspektif linguistik Ibnu Jinni, Abdul Qahir al-Jurjani, serta syair Arab jahiliyah.
2.                        Bersandar pada produk akhir ilmu linguistik modern yang menyatakan bahwa bahasa manapun itu tidak memiliki karakter sinonim (persamaan makna) dan yang benar adalah sebaliknya, sebuah kata dalam koridor historisnya akan mengalami dua alternatif proses, yaitu mengalami kehancuran atau akan membawa makna baru selain makna asalnya.
3.                        Jika Islam bersifat relevan di setiap waktu dan tempat (shalih likulli zamaan wa makaan), maka harus dipahami bahwa al-kitab juga diturunkan pada kita yang hidup pada abad 20 ini. Jadi seolah-olah nabi Muhammad baru saja wafat dan menyampaikannya sendiri kepada kita.
4.                        Allah tidak perlu memberikan petunjuk berupa al-kitab untuk diri-Nya sendiri, maka Dia menurunkannya sebagai petunjuk bagi manusia. Oleh karena itu, menurut Shahrur, seluruh kandungan al-kitab pasti dapat dipahami sesuai dengan kemampuan akal. Al-Kitab turun dalam bentuk media yang sesuai dengan kapasitas pemahaman manusia. Media tersebut berupa linguistik arab murni. Karena menurutnya, tidak ada kontradiksi antara bahasa dan pemikiran, maka saya menolak pendapat yang menyatakan bahwa ada ayat dalam al-Kitab yang tidak dapat dipahami. Pemahaman terhadap al-Kitab selalu bersifat relatif, historis, dan temporal.
5.                        Allah meninggikan posisi akal dengan cara mengungkapkannya dalam firman-firman-Nya. Asumsi ini diambil dengan alasan, pertama, tidak ada pertentangan akal dan wahyu. Kedua, tidak ada pertentangan wahyu dengan realitas yang berupa kebenaran informasi dan rasionalitas penetapan hukum.
6.                        Allah telah meninggikan posisi akal, maka saya pun menempatkannya pada posisi yang semestinya menurut Shahrur. Menurutnya, ia lebih menghormati akal pembaca dari pada gejolak emosinya.[8]
Dari prinsip-prinsip pemikiran dan pemahaman yang ada di atas, Shahrur mendapati bahwa pemikiran Islam secara mendasar itu memiliki karakter yang universal.

C.    Teori Batas (Theory of Limits)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Shahrur telah melahirkan sebuah teori yang aplikatif, yakni nadzaraiyyah al-hudud (theory of limit/teori batas). Teori ini terdiri dari batas bawah (al-hadd al-adna/batas minimal) dan batas atas (al-hadd al-a’la/batas maksimal).
Sebelum menjelaskan teori tersebut, dan agar kita dapat mengetahui pesan hukum Islam, maka harus kita pahami perbedaan mendasar pada hubungan dua konsep yang saling bertentangan, tapi saling melengkapi, yaitu istiqomah (strightness) dan hanifiyyah (curvature). Dan perlu dicatat, menurut Shahrur, terjemahan dua istilah ini dalam bahasa inggris tidak mendapat padanan yang sesuai sebagaimana dipahami secra tradisional, tetapi agaknya dipahami oleh Shahrur berdasarkan istilahnya sendiri. Ia menyimpulkan bahwa hanifiyyah adalah istiqomah yang menjadi sifat dari kelurusan atau mengikuti jalan yang lurus itu.[9]
Dan istilah ini merupakan bagian tak terpisahkan dan membentuk pola hubungan yang saling melengkapi dalam risalah. Kelengkungan (hanifiyyah), menurutnya adalah sifat dasar alam, dengan maksud bahwa hal ini juga bagian dari sifat fitrah manusia. Hukum alam bendawi menyatakan bahwa benda-benda tidaklah bergerak benar-benar lurus, tetapi cenderung mengikuti garis lengkung. Gerakan yang terjadi di alam, umpamanya, digambarkan sebagai lengkungan. Semua benda, mulai dari elektron terkecil sampai dengan galaksi terbesar bergerak mengikuti garis lengkung. Sesuai dengan pandangan Shahrur terhadap alam ini, hukum kelengkungan (curvature/hanifiyyah) dilihat sebagi representasi dari sifat gerak tidak lurus. Begitu pula kebiasaan, adat, dan tradisi sosial yang cenderung hidup harmonis sesuai dengan tingkat kebutuhan dalam suatu masyarakat. Di lain pihak, memang kebutuhan-kebutuhan ini juga cenderung berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, atau bahkan dalam masyarakat itu sendiri.
Demi kepentingan dan mengontrol perubahan ini, maka kelurusan (istiqomah) menjadi sangat dibutuhkan untuk menegakkan aturan hukum. Tidak seperti hanifiyyah, istiqomah bukanlah bagian dari hukum alam. Tetapi ia lebih sebagai ketentuan Tuhan yang bersama-sama dengan hanifiyyah digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat. Hanifiyyah membutuhkan istiqomah, sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran surah al-Fatihah ayat lima, yang menjelaskan bahwa manusia mencari petunjuk Tuhan dengan memohon kepada-Nya agar ditunjukkan kepada jalan yang lurus.[10]
Hubungan antara hanifiyyah dan istiqomah itu sepenuhnya dialektis, di mana ketetapan dan perubahan yang terdapat pada hubungan tersebut berjalin berkelindan. Dialektikan ini artinya sangat penting, karena hukum itu menurutnya dapat beradaptasi pada setiap waktu dan tempat (shalih likulli zamaan wa makaan). Yang pada akhirnya, manusia itu bergerak menurut kelengkungan hanifiyyah di dalam batas-batas istiqomah ini yang akan dijelaskan secara lebih luas dengan teorinya yang Theory of Limits (teori batas), kata Shahrur.
Teori batas dapat digambarkan sebagai berikut: perintah Tuhan yang diungkapkan dalam al-Quran, dan Sunnah mengatur ketentuan-ketentuan yang merupakan batas terrendah dan batas tertinggi bagi seluruh perbuatan manusia. Batas terendah mewakili hukum minimum dalam sebuah kasus hukum, dan batas tertinggi mewakili sebaliknya, batas minimum.tidak ada suatu hukum yang lebih rendah dari batas minimum atau lebih tinggi dari batas maksimum. Ketika batas-batas ini dijadikan panduan, maka kepastian hukum akan terjamin sesuai dengan ukuran kesalahan yang dilakukan, kata Shahrur.
Setidaknya ada enam bentuk aplikatif teori batas dalam kajian ayat-ayat hukum, di antaranya: Pertama, teori yang hanya memiliki batas bawah saja (al-hadd al-adna). Hal ini berlaku pada kasus perempuan yang boleh dinikahi (pada QS. An-Nisa [4]: 22-23), jenis makanan yang diharamkan (QS. [5]: 3, [6]: 145-156), hutang piutang (QS. [2]: 283-284), dan mengenai pakaian perempuan (QS. [4]: 31).
Kedua, teori yang memiliki batas atas saja (al-hadd al-a’la). Hal ini berlaku pada tindak pidana pencurian (QS. Al-Maidah [5]: 38) dan pembunuhan (QS. [17]: 33, [2]: 178, [4]: 92). Di sini, hukum yang ditentukan mewakili batas maksimum yang tidak boleh dilampaui. Dalam hal ini, artinya hukuman dapat dikurangi, tentu berdasarkan kondisi-kondisi obyektif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Dan itulah yang akan menjadi tanggungjawab para mujtahid untuk menentukan kriteria-kriteria pencuri mana yang harus dipotong tangan ataupun tidak, hanya sekedar ditakzir.
Ketiga, yaitu teori yang memiliki batas bawah dan batas atas ketika keduanya berhubungan. Teori ini berlaku pada kasus hukum waris (QS. [4]: 11-14, 176,) dan [poligami [4]: 3). Menurut Shahrur, batas maksimal ini dimiliki oleh laki-laki dan batas minimal bagi perempuan. Terlepas apakah wanita bekerja juga sebagai pencari nafkah ataupun tidak. Bagaiamanapun juga, artinya wanita itu tersebut tidak boleh kurang dari 33,3%, sementara bagian waris laki-laki itu tidak boleh lebih dari 66,6%. Jadi jika wanita diberi 40% dan laki-laki 60%, maka pembagian ini tidaklah disebut sebagai bentuk pelanggaran terhadap batas minimum dan batas maksimum. Alokasi bagi prosentasi persen untuk masing-masing pihak ditentukan berdasarkan kondisi obyektif sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Menurut Shahrur, hukum tidak harus diberlakukan sebagai pemberlakuan secara literal teks-teks yang sudah diturunkan brerabad-abad lalu pada dunia modern. Dan jika aplikasi literal seperti ini masih diterima, hampir dapat dipastikan, kata Shahrur, Islam akan kehilangan karakter keluwesan dan fleksibilitasnya (al-hanifiyyah).
 Keempat, ketentuan batas atas dan bawah berada pada satu titik (posisi garis lurus). Artinya tidak ada alternatif lain dan tidak boleh kurang ataupun lebih. Teori ini hanya berlaku pada hukum zina dengan seratus kali cambuk (QS. [24]: 2). Karena Allah menetapkan hukum zina ini secra ketat, berbeda dengan hukum yang lainnya. Dia tidak menyerahkan syarat-syarat kondisionalnya pada ijtihad manusia. Tetapi Allah sendirilah yang menentukan syarat tersebut, yaitu adanya empat saksi dan pelemparan tuduhan dalam kasus antar suami-istri. Allah juga menetapkan sanksi hukum bagi pihak yang melemparkan tuduhan tanpa mampu memenuhi syarat dan bukti-buktinya. Keterangan dari semua batasan hukum ini tercantum dalam surat al-Nur ayat 3-10.
Kelima, ketentuan yang memiliki batas bawah dan atas sekaligus, tetapi keduanya tidak boleh disentuh. Jika menyentuhnya berarti telah melanggar peraturan Tuhan. Ini berlaku pada hubungan laki-laki dan perempuan. Jika antara laki-laki dan perempuan mendekati zina tetapi belum berzina, maka keduanya belum masuk kepada batas-batas hukum Allah. Secra teoritis, batas hukum zina yang merupakan salah satu batas hukum Allah ini berada dalam garis lurus yang seseorang akan sampai pada titik puncaknya jikasemakin mendekatinya. Teori sangat sesuai dengan realitas hubungan antara laki-laki dan perempuan. Oleh kerananya, sanksi hukuman bagi pelaku zina disimbolkan dengan garis lurus, yaitu pada psosisi batas maksimal sekaligus batsa minimal. Sehingga redaksi pada ayat yang menjusur kepada perbuatan zina berbunyai: “walaa taqrabu al-zinaa”(dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina) [QS. al-An’am: 151].[11]
Keenam, yaitu ketentuan yang memiliki batas dan bawah, di mana batas atasnya bernilai positif dan tidak boleh dilampaui. Sedang batas bawahnya bernilai negatif dan boleh dilampaui. Berlaku pada hubungan kebendaan sesama manusia. Batas atas yang berilai positif[12] berupa riba, sementara batas bawahnya yang negatif berupa zakat.[13]

D.    Contoh Aplikasi Teori
Dalam sub bab ini, penulis mencoba menerapkan secara langsung teori-teori yang ditawarkan oleh Muhammad Shahrur, seorang insinyur berkebangsaan Mesir-Syiria yang inovatif dan revolusioner ini dalam kasus perbuatan yang dikutuk oleh bangsa kita ini, yaitu “korupsi”. Sebelumnya, setidaknya kita harus tahu sekilas mengenai komentar dan kesan khalayak terhadap pemikiran Muhammad Shahrur ini. Mungkin karya-karyanya memang banyak mungundang kontroversi, khususnya di daerah asalnya, Syiria. Namun hal itu dapat dimaklumi, karena latar belakang pendidikannya sebagai teknik insinyur, sehingga model analisisnya pun unik, berbeda dengan kebanyakan para ulama-ahli tafsir. Dan pada dasarnya, ia sendiri memang tidak menamakan karyanya sebagai sebuah tafsir al-Quran, dengan kerendahan hatinya, tapi lebih hanya sekedar sebuah pembacaan kontemporer terhadap al-Quran, sama sekali bukan karya dalam bidang tafsir ataupun bahkan hukum.
Dalam pembacaan al-Quran dan Sunnah secara kontemporer ini pun, Shahrur sangat kentara dalam memanfaatkan ilmu-ilmu alam; khususnya matematika dan fisika. Tapi uniknya sekali lagi, hasil yang diperoleh dari pemikirannya dapat dikontekstualisasikan lebih luas, khususnya untuk membangun kajian hukum sebagai sebuah sistem yang komprehensif. Walhasil, karyanya pun memiliki kedalaman dan keluwesan tersendiri yang tak tertandingi oleh tulisan-tulisan modern lainnya dalam pembahasan topik hukum ini.[14]
Selanjutnya, untuk lebih mendalam menerapkan kasus ini. Kita satukan dulu persepsi definisi korupsi, apa itu korupsi? Apa dampak dari korupsi? Lalu bagaimana hukumnya? Dan apa hukumannya?
a.      Definisi Korupsi
Istilah korupsi ini asalnya dari satu kata dalam bahasa latin, yakni Corruptio atau Corruptus, yang kemudian disalin dalam bahasa inggris menjadi Corruption atau Corrupt, dalam bahasa Perancis menjadi Corruption. Dan dalam bahasa belanda disalin lagi menjadi Corruptie (Korruptie). Asumsi terkuat kita menyatakan bahwa dari bahasa belanda inilah kata itu masuk ke dalam bahasa Indonesia, yaitu Korupsi. Arti harfiah dari kata korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina dan memfitnah. Andi Hamzah dalam kamus hukumnya mengartikan korupsi sebagai perbuatan buruk, busuk, bejat, suka disuap, perbuatan yang menghina atau memfitnah,menyimpang dari kesucian, dan tidak bermoral.[15] 
Baharudin Lopa mengatakan, Corruption is the offering and accepting of bribes (penawaran/pemberian dan penerimaan hadiah-hadiah berupa suap). Di samping itu, diartikan juga “decay”, yaitu kebusukan/kerusakan. Yang busuk dan rusak adalah moral akhlak oknum yang melakukan perbuatan korupsi sesuai arti Corruptus atau Corruptio.[16]
Syamsul Anwar mengutip beberapa pengertian dari para ahli, Syed Husen al-Atas, menegaskan bahwa esensi dari korupsi pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Dalam Webzter’s Third New International Dictionary, korupsi didefinisikan sebagai ajakan (dari seorang pejabat publik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya untuk dilakukan sebagai sebuah pelanggaran tugas.[17]
Dengan demikian, kata korupsi mempunyai kandungan makna dan cakupan yang sangat luas, dalam hal ini, Andi Hamzah juga menjelaskan lagi bahwa kehidupan yang buruk di dalam penjara misalnya, sering disebut pula sebagai kehidupan yang korup, artinya segala macam bentuk kejahatan terjadi di sana. Akan tetapi, walaupun makna kata Corruptio itu luas sekali artinya, namun perlu dicatat bahwa masyarakat sering mengidentikan itu dengan penyuapan. Suap dalam bahasa arab: “Risywah”, maka di Malaysia terdapat juga peraturan anti korupsi. istilah di Malaysia tidak menggunakan korupsi,, melainkan kata resuah, yang tentunya diambil dari bahasa arab Risywah, yang menurut kamus Arab-Indonesia sama artinya dengan korupsi. Dan itu pula yang terjadi pada di Indonesia. Jika ada orang yang berbicara mengenai korupsi, pasti yang terbesit dalam pikiran ialah perbuatan jahat yang menyangkut keuangan negara dan suap.[18]
Dalam bahasa Arab, korupsi juga disebut dengan Risywah” yang berarti penyuapan. Risywah juga dapat diartikan dengan uang suapnya. Jadi, intinya korupsi ini dinilai sebagai tindakan merusak dan berkhianat yang juga disebut sebagai fasad (ifsad) dan ghulul.[19]
Dari uraian pengertian korupsi di atas, bisa kita simpulkan bahwa arti dan kandungan makna korupsi sangatlah luas, tergantung dari bidang dan perspektif pendekatan apa yang akan dilakukan. Intinya, dari semua arti, baik secara etimologi dan terminologi, kesemuanya korupsi diidentikan kepada keburukan, ketidakbaikan, kecurangan, kerusakan, bahkan kedzaliman yang akibatnya akan merusak dan menghancurkan tata kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan bahkan negarapun bisa bangkrut akibat korupsi sebagai tindak kejahatan yang amat dikutuk sekarang ini.
b.      Dampak Korupsi
Dampak yang ditimbulkan dari tindakan korupsi bermacam-macam sesuai dengan jenis korupsi yang dilakukan. Secara umum korupsi dalam segala bentuk dan jenisnya berdampak negatif, yakkni merugikan kepentingan masyarakat (public interst) dan menghilangkan kepercayaan publik kepada lembaga dan penyelenggara negara.[20]
Dampak dari korupsi tersebut di antaranya:
-          Kinerja melayani kepentingan publik menurun.
-          Mutu pelayanan yang seharusnya jadi target tak dihiraukan, kecuali ada materi tambahan.
-          Posisi menjadi terbalik, seharusnya petugas (aparat) menjadi abdi masyarakat demi kesekahteraan dan kenyamanan bersama. Malah mereka menjadi raja-raja dan diberi “upeti” untuk melayani masyarakat.
-          Dana untuk kepentingan rakyat tidak ada ujung pangkalnya, tidak jelas sampai ke rakyat atau tidak. Kalaupun sampai sudah dipotong dengan berbagai macam dalih.
-          Biaya produksi sangat tinggi.
-          Lembaga keamanan memanfaatkan situasisituasi tertentu untuk mendapatkan materi tambahan.
-          Keadilan dapat dibeli, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan menurun.

c.       Hukuman Bagi Koruptor
Melihat definisi korupsi yang sangat luas. Term ini sulit untuk ditentukan hukumnya dan apa hukuman yang pantas bagi para pelakunnya. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih klasikpun sangat sulit ditemukan. Namun, jika kita menggunakan teori Muhammad Shahrur, sebagaimana juga sudah dibahas mengenai definisi korupsi, kasus ini secara lahir memang hampir sama dengan sariq (pencurian). Namun rasanya jika hukuman (had al-a’la) bagi para koruptor hanya potong tangan (secara harfiah) masih dianggap kurang pantas dengan pertimbangan dampak yang ditimbulkan begitu besar dan menyangkut hajat orang banyak. Sebagaimana disebutkan Shahrur dalam karyanya Hermeneutik Islam, seperti mencuri data data rahasia negara kemudian menjualnya kepada negara asing atau sesorang yang mengkorupsi harta negara melalui perusahaan negara dan proyek-proyek fiktif. Atau bahkan ada sekelompok orang yang bersekongkol untuk mengkorupsi uang negara sehingga mengakibatkan krisis ekonomi bangsa tersebut, atau penggelapan dana proyek pembangunan infrastruktur, sehingga gedung tersebut rusak sebelum waktunya akibat kualitas bahan bangunan yang tidak semestinya, atau memberikan jabatan kepada orang yang tidak sesuai dengan bidangnya, mark up dana pembangunan berbagai macam proyek pemerintah. Seperti pada pembangunan pelabuhan, jembatan, terminal, bandara, rumah sakit, bendungan, instalasi pembangkit listrik dan lain sebagainya.[21]
Sehingga, Shahrur menjawab kasus korupsi ini dengan dalil yang lain, yaitu yang ada pada firman Tuhan dalam surah al-Maidah ayat 33 yang mencakup jenis kejahatan tersebut, melihat dampaknya yang amat besar. Firman-Nya:”Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rosul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tampat kediamannya). Yang demikian itu sebagai sebuah bentuk penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akherat mereka beroleh siksaan yang besar.”
Dalam ayat ini tercantum berbagai macam bentuk hukuman dengan batasan yang bervariasi. Sehingga menyediakan ruang yang luas untuk berijtihad. Yang jelas, semua hukuman ini lebih berat dari pada potong tangan sebagaimana yang tersurat dalam QS. Al-Maidah ayat 38, yaitu hukuman mati, disalib, potong tangan dan kaki secara berkebalikan, pengasingan atau penjara seumur hidup. Majlis hakim atau dewan pembentuk undang-undang berkewajiban untuk menetapkan batasan dan kriteria yang sesuai bagi pemberlakuan masing-masing bentuk hukuman tersebut atas dasar kondisi obyektif yang melingkupinya. Dengan memperhatikan seluruh macam bentuk hukuman ini adalah batas maksimal, Allah membuka pintu taubat dan maaf bagi mereka yang menyesali perbuatannya, sebagaimana firman Allah: “Kecuali orang-orang yang taubat (di  antara mereka) sebelum kamu dapat mengusai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasannya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Maidah: 34).
Allah telah menetapkan taubat dan maaf sebagai dasar acuan pemberlakuan hukum. Dengan ungkapan lain, untuk mendapatkan maaf, si pelaku harus bertaubat terlebih dahulu dan mengakui seluruh perbuatannya (kesalahan) sebelum diungkapkan oleh pihak yang berwajib. Dalam hal ini, pemberian maaf lebih diutamakan, kata Shahrur.[22]

III.                   Kesimpulan
Teori yang ditawarkan Muhammad Shahrur ini benar-benar merupakan teori baru. Karena kajiannya ini pun tidak berlandaskan langsung dengan teori-teori dalam kajian Islam sebelumnya. Melainkan diinspirasi berdasarkan pemahaman historis ilmiah dalam kajian lingistik yang diteliti oleh Dr. Ja’far Dikk al-Bab. Keyakinan yang ia pegang itu berdasarkan bahwa al-kitab itu sesuai di setiap waktu dan tempat. Maka dengan teori limitnya ini, ia yakin benar bahwa hukum Tuhan akan selalu berlaku hingga akhir zaman sesuai dengan tempat dan masanya.
Itu juga ia buktikan dalam contoh kasus korupsi misalnya. Ia tidak serta merta menyamakan hukumannya dengan sariq (pencuri). Walaupun sebenarnya memang ada kesamaan. Namun karena dianggap hukuman tersebut masih kurang berat dengan dalih bahwa dampak yang diakibatkan korupsi lebih besar dan luas.
Dan sejatinya korupsi sendiri memang tidak ada dalil tersirat yang menyebutkan hukuman bagi para pelakunya dalam al-Quran dan hadits. Kalaupun ada (seperti risywah, ghulul) itu karena dampak yang diakibatkan belum sampai sebesar pada era sekarang ini. Sehingga ia menggunakan dalil dalam surat al-Maidah ayat 33 sebagai landasan hukum bagi para pelaku koruptor. Dengan catatan semua hukum yang tercantum dalam surat tersebut adalah batas maksimal (had al-a’la), karena semua hukum itu lebih berat dari sekedar potong tangan. Dan untuk menentukan hukum mana yang lebih pantas, Shahrur menyerahkannya kepada para mujtahid (Majlis Hakim/Dewan pembentuk undang-undang) untuk menentukan batasan dan kriteria-kriteria hukuman bagi pelaku sesuai dengan alasan dan berbagai macam faktor yang melingkupi pelaku.
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rosul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tampat kediamannya). Yang demikian itu sebagai sebuah bentuk penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akherat mereka beroleh siksaan yang besar.”QS. al-Maidah: 33.
Daftar Pustaka
Shahrur, Muhammad, Prinsip dan Dasar Hermeneutik Al-Quran Kontemporer, 2004, Yogyakarta: EISAQ Press.
Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutik Hukum Islam, 2007, Yogyakarta: eLSAQ Press.
Abdullah, H. M. Amin, Abdul Salam Arief, DKK, Madzhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, 2002, Djokjakarta: Ar-Ruzz Press.
http://id.shvoong.com/humanistic/history/2172316-biografi-Muhammad-Shahrur.
QS. Al-Hijr: 9 dan An-Nahl: 44
Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif Fiqih Jinayah, 2009, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI.
Ahmad Warson Munawir, Kamus Munawir Arab-Indonesia (Yokgyakarta: Ponpes Krapyak al Munawir, 1884).
Masdar F. Mas’udi, Indra J. Pilang, Ervyn Kaffah, Sapto Waluyo, DKK, Fiqh Korupsi: Amanah VS Kekuasaan, 2003, NTB: Solidaritas Masyarakat Transparasi NTB.




[1] Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutik Al-Quran Kontemporer, 2004, Yogyakarta: EISAQ Press, hal. 37.
[2] Ibid, hal. 38.
[3] Ibid, 39-40.
[4] Ibid, hal. 41.
[5] H. M. Amin Abdullah, Abdul Salam Arief, DKK, Madzhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, 2002, Djokjakarta: Ar-Ruzz Press, hal. 121.
[6] http://id.shvoong.com/humanistic/history/2172316-biografi-Muhammad-Shahrur.
[7] Lihat QS. Al-Hijr: 9 dan An-Nahl: 44
[8] Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutik Al-Quran Kontemporer, hal. 39-41.
[9] Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutik Hukum Islam, 2007, Yogyakarta: eLSAQ Press, hal. 5-6.
[10] Muhammad Shahrur, ibid. Hal. 31-45.
[11]Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutik Hukum Islam Kontemporer, hal. 45. 
[12] Istilah positif dan negatif di sini bukan istilah moral (baik dan buruk), tetapi istilah matematika: positif (plus) berarti di atas garis nol, dan negatif (minus) di bawah garis nol.
[13]  Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutik Hukum Islam Kontemporer, hal. 45.
[14] Ibid, hal. 3.
[15] Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif Fiqih Jinayah, 2009, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, hal. 42-43.
[16]  Ibid.
[17]  Ibid, hal. 44.
[18] Ibid. 
[19] Ahmad Warson Munawir, Kamus Munawir Arab-Indonesia (Yokgyakarta: Ponpes Krapyak al Munawir, 1884), hal 537, 1089, 1134, kata fasad-ifsad dalam kamus ini diartikan mengambil harta secara dzalim .
[20] Masdar F. Mas’udi, Indra J. Pilang, Ervyn Kaffah, Sapto Waluyo, DKK, Fiqh Korupsi: Amanah VS Kekuasaan, 2003, NTB: Solidaritas Masyarakat Transparasi NTB, hal. 273-274.
[21] Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutik Hukum Islam Kontemporer, hal. 35.
[22] Prinsip dan Dasar Hermeneutik Hukum Islam Kontemporer, hal. 36. 

0 komentar:

Posting Komentar