I.
Pendahuluan
Jika sesorang melukis wajah hanya meletakkan satu mata saja, tentu
orang yang melihatnya akan segera mengoreksi bahwa gambar tersebut
salah/keliru.akan tetapi, jika ia menggambarnya melalui cerimin, artinya ia
melukis secara terbalik-lalu ia menyuguhkan lukisan tersebut kepada orang lain,
maka tak ada yang menduga bahwa lukisan tersebut terbalik. Kondisi seperti ini,
menurut Muhammad Shahrur terjadi pada penduduk bumi selama ratusan tahun. Yaitu
ketika mereka berkeyakinan bahwa matahari mengelilingi bumi. Mereka tidak
paham, hingaa ada salah seorang dari mereka yang menyatakan sebaliknya, bahwa
sesungguhnya bumilah yang mengelilingi matahari.[1]
Hal yang demikian ini,
telah terjadi pula pada dunia Islam lebih dari 15 abad. Bahkan hingga ini,
peradaban Islam masih saja menyuguhkan Islam sebagai aqidah tanpa menyentuh
dimensi filosofis dalam aqidah Islam itu sendiri. Peradaban Islam dibangun di
atas doktrin dan ajaran yang dianggap bagian dari Islam, padahal landasan
tersebut sudah perlu dikaji ulang. Sehingga yang ada, peradaban Islam mengalami
stagnasi dan tidak mampu memecahkan problem fundamental pemikiran Islam, karena
memang masih dipenuhi dengan taqlid tentang konsep qadha dan qadar, paham
Jabariyah, problematika pengetahuan, konsep negara, problem sosial-ekonomi,
demokrasi dan penafsiran atas sejarah.[2]
Kesimpulan umum yang
diambil Shahrur adalah pemikiran Arab Kontemporer,temrasuk pemikiran Islam yang
memiliki masalah-maslah mendasar. Seperti: pertama, tidak adanya teori
Islam Kontemporer dalam ilmu humaniora yang disimpulkan secara langsung dari
al-Quran. Yaitu sebuah teori yang mampu Islamisasi ilmu pengetahuan. Tidak adanya
teori ini, menyebabkan umat Islam mengalami pembusukan pemikiran, fanatisme
madzhab, terjebak pada pemikiran statis dan mewarisi kekacauan politik yang
berlangsung selama ratusan tahun. Kedua, adanya prakonsepsi terhadap
sebuah masalah sebelumkajian dilakukan. Salah satunya adalah masalah posisi
“perempuan dalam Islam”. Ketiga, pemikiran Islam tidak memanfaatkan
konsep-konsep dalam filsafat humaniora dan tidak berinteraksi dengan
dasar-dasar teorinya. Karena sejatinya kita tidak mungkin mengatakan bahwa seluruh
hasil pemikiran manusia sejak zaman Yunani hingga kini adalah sebuah kesalahan.
Akan tetapi, kita harus berani dan berusaha mencari pemahaman yang benar (menurut
Islam) pada konsep dan teori humaniora tersebut.[3]
Keempat, tidak adanya pegangan berupa metode ilmiah objektif. Para
penulis muslim tidak pernah menerapkan metode ini terhadap teks-teks suci
agama, yaitu ayat-ayat kitab suci yang diwahyukankepada Muhammad SAW., padahal
syarat utama penelitian ilmiah yang objektif adalah melakukan studi teks tanpa
mengikutsertakan sentimen apapun, karena tindakan sentimen hanya akan
menjerumuskan peneliti ke dalam perangkap keraguannya, khususnya jika objek
kajian berupa teks-teks keagamaan.
Kelima, saat ini kaum muslim sedang mengalami krisis ilmu fiqih.
Kita butuh fiqih kontemporer dan pemahaman modern mengenai sunnah nabi.
Problema ini semakin komplek tanpa adanya upaya penyelesaiain yang serius.[4]
Sehingga bagaimnapun juga,
hasil pemikiran Shahrur yang dianggap kontroversial dan liberal ini patut untuk
diapresiasi dan sangat perlu dikaji dan dipertimbangkan dalam dunia pemikiran
Islam. Semua ini dilakkukan supaya kaum muslimin bisa terbebas dari
pikiran-pikiran sempit yang membelenggu, sehingga mereka mampu menghadapi
tantangan-tantangan pemikiran kontemporer. Kendatipun menurut Amin Abdullah,
akar pertama yang menjadi konroversi itu adalah kurang kuatnya landasan pada
kerangka teoritik (khususnya dalam ilmu ushul fiqh yang ada sebelumnya). Namun
perlu kita sadari juga bahwa suatu ilmu itu tidak harus berjalan secara
evolutif yang selalu berpijak pada teori-teori lama sebelumnya, tapi bisa saja
dengan cara revolutif, di mana sebuah ilmu tidak sama sekali berpijak pada
teori-teori yang ada sebelumnya, tetapi benar-benar menawarkan sebuah paradigma
yang baru.[5]
II.
Pembahasan
A.
Biografi
Singkat Muhammad Shahrur
Muhammad Shahrur adalah pemikir liberal (muslim kiri) asal
Damaskus, Syiria. Ia dilahirkan di perepmpatan Sahiliyah, Damaskus pada tanggal
11 April 1938, Syiria. Ia merupakan putra ke lima dari seorang tukang celup
yang bernama Daib. Sedangkan ibunya bernama Shiddiqah binti Shaleh Filyun.
Jenjang pendidikan Shahrur sebagaimana anak-anak lainnya, yaitu
diawali dari madrasah ibtidaiyyah, i’dadiyyah (sederaajat SLTP) dan Tsanawaiyah
(sederajat SLTA) di Damaskus. Dalam usianya yang ke-19, Shahrur memperoleh
ijazah Tsanawiyah dari Madrasah Abdurrahman al-Kawakibi pada tahun 1957 M. Namun,
perlu dicatat, sekolah-sekolah ini bukanlah sekolah keagamaan. Dengan kata
lain, ia tidak mengeyam pendidikan agama yang cukup di masa kecil dan
remajanya.
Kecerdasannya terbukti dengan beasiswa yang ia peroleh dari
pemerintah Syiria ke Moskow, Rusia untuk melanjutkan kuliah di bidang teknik
sipil (al-Handasah al-Madaniyyah) pada Maret 1957 M. Jenjang pendidikan
ini ia tempuh selama lima tahun mulai 1959 M hingga berhasil meraih gelar
diploma (S1) pada tahun 1964. Pada tahun 1969 Shahrur meraih gelar Masternya.
Dan tiga tahun kemudian, tahun 1972, beliau berhasiil menyelesaikan program
doktoralnya.[6] Hingga pendidikan
tinggi tersebut, ia tidak bergabung dengan institusi Isalam manapun. Dan ia
juga tidak pernah mengikuti pelatihan resmi atau memperoleh sertifikat dalam
ilmu-ilmu ke-Islaman.
Karya-karya yang ia tulis di antaranya: al-Kitab wa al Quran
Qira’at al-Mu’ashirah (1990), al-Daulah al-Mujtama’ (1994), al
Islam wa al-Iman al-Mandzumah al-Qiyam (1996), Nahw al-Usul al Jadidah
li al-Fiqhi al-Islami (2000), dan Tafir Manabi al-Irhab (2008). Dari
bebrapa karyanya tersebut, yang paling populer dan memperoleh perhatian yakni al-Kitab
wa al-Quran Qiraat al-Mu’ashirah (Tela’ah Kontemporer al-Kitab dan
al-Quran) dan Nahw al-Usul al Jadidah li al-Fiqhi al-Islami (Metodologi
Fiqih Islam Kontemporer). Karya monumentalnya: al-Kitab wa al-Quran Qiraat
al-Mu’ashirah merupakan karya tebesarnya. Namun tulisannya ini sudah
dikritik hingga 15 buku pada waktu singkat setelah terbitnya di Damaskus pada
tahun 90-an.
Sebenarnya, melihat latar belakang pendidikan Shahrur seperti yang
dijelaskan di awal. Menunjukkan bahwa Shahrur bukanlah seorang mufassir (pakar
tafsir), ahli fiqih dan Ushul fiqh, ataupun bahasa. Namun meskipun demikiain,
ia sering melibatkan dirinya dalam isu-isu liberalisasi syari’at dan
dekontruksi tafsir al-Quran. Beberapa hukum Islam dan kaidah ilmu tafsir dan
Ushul fiqh didekontruksinya dengan berbekal ilmu teknik dan mengandalkan
asal-usul kearabannya. Latar belakang lingkungan, baik pendidikan dan pergaulannya
juga sangat mempengaruhi cara berpikir dalam karya-karyanya.
B.
Latar Belakang
Pemikiran Muhammad Shahrur
Muhammad Shahrur adalah salah satu dari pemikir Islam Kontemporer.
Ia seperti halnya Fazlur Rahman, Abid al-Jabiri, Muhammad Arkoun, Nasr Hamid
Abu Zayd, Hasan Hanafi, dan pemikir-pemikr Islam lainnya. Ia menawarkan sebuah
pemahaman dan pemikiran baru yang berbeda dengan mainstream yang selama ini
berkembang di duina Islam. Sekaligus ia berusaha menyingkap kesalahan dalam
memahami teks yang sering kali dilakukan secara hitam putih, memutlakan satu
sisi dan merelatifkan yang lain atau bahkan menyalahkannya. Jika seperti itu, menurut
Dr. Ja’far Dikk al-Bab, guru sekaligus teman yang menginspirasi Shahrur dalam
karyanya : al-Kitab wa al Quran
al-Qiraat al-Mu’ashirah, maka yang demikian itu merupakan bentuk
penyimpangan dalam memahami teks karena dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan.
Ia sadar betul, dalam pemikiran Arab kontemporer, termasuk di
dalamnya adalah pemikiran Islam itu masih memiliki masalah-masalah mendasar.
Pertama, tidak adanya pegangan
Dari situ, Muhammad Shahrur
berusaha melakukan pembacaan baru sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Allah
untuk menjaganya[7] berdasarkan
prinsip-prinsip sebagai berikut.
1.
Memaksimalkan
seluruh potensi karakter linguistik arab dengan bersandar pada tiga pondasi,
yaitu metode Linguistik Abu Ali al-Farisi, perspektif linguistik Ibnu Jinni,
Abdul Qahir al-Jurjani, serta syair Arab jahiliyah.
2.
Bersandar pada
produk akhir ilmu linguistik modern yang menyatakan bahwa bahasa manapun itu
tidak memiliki karakter sinonim (persamaan makna) dan yang benar adalah
sebaliknya, sebuah kata dalam koridor historisnya akan mengalami dua alternatif
proses, yaitu mengalami kehancuran atau akan membawa makna baru selain makna
asalnya.
3.
Jika Islam
bersifat relevan di setiap waktu dan tempat (shalih likulli zamaan wa makaan),
maka harus dipahami bahwa al-kitab juga diturunkan pada kita yang hidup pada
abad 20 ini. Jadi seolah-olah nabi Muhammad baru saja wafat dan menyampaikannya
sendiri kepada kita.
4.
Allah tidak
perlu memberikan petunjuk berupa al-kitab untuk diri-Nya sendiri, maka Dia
menurunkannya sebagai petunjuk bagi manusia. Oleh karena itu, menurut Shahrur,
seluruh kandungan al-kitab pasti dapat dipahami sesuai dengan kemampuan akal. Al-Kitab
turun dalam bentuk media yang sesuai dengan kapasitas pemahaman manusia. Media
tersebut berupa linguistik arab murni. Karena menurutnya, tidak ada kontradiksi
antara bahasa dan pemikiran, maka saya menolak pendapat yang menyatakan bahwa
ada ayat dalam al-Kitab yang tidak dapat dipahami. Pemahaman terhadap al-Kitab
selalu bersifat relatif, historis, dan temporal.
5.
Allah
meninggikan posisi akal dengan cara mengungkapkannya dalam firman-firman-Nya.
Asumsi ini diambil dengan alasan, pertama, tidak ada pertentangan akal dan
wahyu. Kedua, tidak ada pertentangan wahyu dengan realitas yang berupa
kebenaran informasi dan rasionalitas penetapan hukum.
6.
Allah telah
meninggikan posisi akal, maka saya pun menempatkannya pada posisi yang
semestinya menurut Shahrur. Menurutnya, ia lebih menghormati akal pembaca dari
pada gejolak emosinya.[8]
Dari
prinsip-prinsip pemikiran dan pemahaman yang ada di atas, Shahrur mendapati
bahwa pemikiran Islam secara mendasar itu memiliki karakter yang universal.
C.
Teori Batas
(Theory of Limits)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Shahrur telah melahirkan sebuah
teori yang aplikatif, yakni nadzaraiyyah al-hudud (theory of limit/teori
batas). Teori ini terdiri dari batas bawah (al-hadd al-adna/batas
minimal) dan batas atas (al-hadd al-a’la/batas maksimal).
Sebelum menjelaskan teori tersebut, dan agar kita dapat mengetahui
pesan hukum Islam, maka harus kita pahami perbedaan mendasar pada hubungan dua
konsep yang saling bertentangan, tapi saling melengkapi, yaitu istiqomah (strightness)
dan hanifiyyah (curvature). Dan perlu dicatat, menurut Shahrur,
terjemahan dua istilah ini dalam bahasa inggris tidak mendapat padanan yang
sesuai sebagaimana dipahami secra tradisional, tetapi agaknya dipahami oleh
Shahrur berdasarkan istilahnya sendiri. Ia menyimpulkan bahwa hanifiyyah
adalah istiqomah yang menjadi sifat dari kelurusan atau mengikuti jalan yang
lurus itu.[9]
Dan istilah ini merupakan bagian tak terpisahkan dan membentuk pola
hubungan yang saling melengkapi dalam risalah. Kelengkungan (hanifiyyah),
menurutnya adalah sifat dasar alam, dengan maksud bahwa hal ini juga bagian
dari sifat fitrah manusia. Hukum alam bendawi menyatakan bahwa benda-benda tidaklah
bergerak benar-benar lurus, tetapi cenderung mengikuti garis lengkung. Gerakan
yang terjadi di alam, umpamanya, digambarkan sebagai lengkungan. Semua benda,
mulai dari elektron terkecil sampai dengan galaksi terbesar bergerak mengikuti
garis lengkung. Sesuai dengan pandangan Shahrur terhadap alam ini, hukum kelengkungan
(curvature/hanifiyyah) dilihat sebagi representasi dari sifat gerak tidak
lurus. Begitu pula kebiasaan, adat, dan tradisi sosial yang cenderung hidup
harmonis sesuai dengan tingkat kebutuhan dalam suatu masyarakat. Di lain pihak,
memang kebutuhan-kebutuhan ini juga cenderung berbeda antara yang satu dengan
yang lainnya, atau bahkan dalam masyarakat itu sendiri.
Demi kepentingan dan mengontrol perubahan ini, maka kelurusan (istiqomah)
menjadi sangat dibutuhkan untuk menegakkan aturan hukum. Tidak seperti hanifiyyah,
istiqomah bukanlah bagian dari hukum alam. Tetapi ia lebih sebagai
ketentuan Tuhan yang bersama-sama dengan hanifiyyah digunakan untuk
mengatur kehidupan masyarakat. Hanifiyyah membutuhkan istiqomah,
sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran surah al-Fatihah ayat lima, yang
menjelaskan bahwa manusia mencari petunjuk Tuhan dengan memohon kepada-Nya agar
ditunjukkan kepada jalan yang lurus.[10]
Hubungan antara hanifiyyah dan istiqomah itu
sepenuhnya dialektis, di mana ketetapan dan perubahan yang terdapat pada
hubungan tersebut berjalin berkelindan. Dialektikan ini artinya sangat penting,
karena hukum itu menurutnya dapat beradaptasi pada setiap waktu dan tempat (shalih
likulli zamaan wa makaan). Yang pada akhirnya, manusia itu bergerak menurut
kelengkungan hanifiyyah di dalam batas-batas istiqomah ini yang
akan dijelaskan secara lebih luas dengan teorinya yang Theory of Limits
(teori batas), kata Shahrur.
Teori batas dapat digambarkan sebagai berikut: perintah Tuhan yang
diungkapkan dalam al-Quran, dan Sunnah mengatur ketentuan-ketentuan yang
merupakan batas terrendah dan batas tertinggi bagi seluruh perbuatan manusia.
Batas terendah mewakili hukum minimum dalam sebuah kasus hukum, dan batas
tertinggi mewakili sebaliknya, batas minimum.tidak ada suatu hukum yang lebih
rendah dari batas minimum atau lebih tinggi dari batas maksimum. Ketika
batas-batas ini dijadikan panduan, maka kepastian hukum akan terjamin sesuai
dengan ukuran kesalahan yang dilakukan, kata Shahrur.
Setidaknya ada enam bentuk aplikatif teori batas dalam kajian
ayat-ayat hukum, di antaranya: Pertama, teori yang hanya memiliki batas bawah
saja (al-hadd al-adna). Hal ini berlaku pada kasus perempuan yang boleh
dinikahi (pada QS. An-Nisa [4]: 22-23), jenis makanan yang diharamkan (QS. [5]:
3, [6]: 145-156), hutang piutang (QS. [2]: 283-284), dan mengenai pakaian
perempuan (QS. [4]: 31).
Kedua, teori yang memiliki batas atas saja (al-hadd al-a’la). Hal
ini berlaku pada tindak pidana pencurian (QS. Al-Maidah [5]: 38) dan pembunuhan
(QS. [17]: 33, [2]: 178, [4]: 92). Di sini, hukum yang ditentukan mewakili
batas maksimum yang tidak boleh dilampaui. Dalam hal ini, artinya hukuman dapat
dikurangi, tentu berdasarkan kondisi-kondisi obyektif yang berlaku dalam suatu
masyarakat tertentu. Dan itulah yang akan menjadi tanggungjawab para mujtahid
untuk menentukan kriteria-kriteria pencuri mana yang harus dipotong tangan
ataupun tidak, hanya sekedar ditakzir.
Ketiga, yaitu teori yang memiliki batas bawah dan batas atas ketika
keduanya berhubungan. Teori ini berlaku pada kasus hukum waris (QS. [4]: 11-14,
176,) dan [poligami [4]: 3). Menurut Shahrur, batas maksimal ini dimiliki oleh
laki-laki dan batas minimal bagi perempuan. Terlepas apakah wanita bekerja juga
sebagai pencari nafkah ataupun tidak. Bagaiamanapun juga, artinya wanita itu tersebut
tidak boleh kurang dari 33,3%, sementara bagian waris laki-laki itu tidak boleh
lebih dari 66,6%. Jadi jika wanita diberi 40% dan laki-laki 60%, maka pembagian
ini tidaklah disebut sebagai bentuk pelanggaran terhadap batas minimum dan
batas maksimum. Alokasi bagi prosentasi persen untuk masing-masing pihak
ditentukan berdasarkan kondisi obyektif sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Menurut Shahrur, hukum tidak harus diberlakukan sebagai
pemberlakuan secara literal teks-teks yang sudah diturunkan brerabad-abad lalu
pada dunia modern. Dan jika aplikasi literal seperti ini masih diterima, hampir
dapat dipastikan, kata Shahrur, Islam akan kehilangan karakter keluwesan dan
fleksibilitasnya (al-hanifiyyah).
Keempat, ketentuan batas
atas dan bawah berada pada satu titik (posisi garis lurus). Artinya tidak ada
alternatif lain dan tidak boleh kurang ataupun lebih. Teori ini hanya berlaku
pada hukum zina dengan seratus kali cambuk (QS. [24]: 2). Karena Allah
menetapkan hukum zina ini secra ketat, berbeda dengan hukum yang lainnya. Dia
tidak menyerahkan syarat-syarat kondisionalnya pada ijtihad manusia. Tetapi
Allah sendirilah yang menentukan syarat tersebut, yaitu adanya empat saksi dan
pelemparan tuduhan dalam kasus antar suami-istri. Allah juga menetapkan sanksi
hukum bagi pihak yang melemparkan tuduhan tanpa mampu memenuhi syarat dan
bukti-buktinya. Keterangan dari semua batasan hukum ini tercantum dalam surat
al-Nur ayat 3-10.
Kelima, ketentuan yang memiliki batas bawah dan atas sekaligus,
tetapi keduanya tidak boleh disentuh. Jika menyentuhnya berarti telah melanggar
peraturan Tuhan. Ini berlaku pada hubungan laki-laki dan perempuan. Jika antara
laki-laki dan perempuan mendekati zina tetapi belum berzina, maka keduanya
belum masuk kepada batas-batas hukum Allah. Secra teoritis, batas hukum zina
yang merupakan salah satu batas hukum Allah ini berada dalam garis lurus yang
seseorang akan sampai pada titik puncaknya jikasemakin mendekatinya. Teori
sangat sesuai dengan realitas hubungan antara laki-laki dan perempuan. Oleh
kerananya, sanksi hukuman bagi pelaku zina disimbolkan dengan garis lurus,
yaitu pada psosisi batas maksimal sekaligus batsa minimal. Sehingga redaksi
pada ayat yang menjusur kepada perbuatan zina berbunyai: “walaa taqrabu
al-zinaa”(dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina) [QS. al-An’am:
151].[11]
Keenam, yaitu ketentuan yang memiliki batas dan bawah, di mana
batas atasnya bernilai positif dan tidak boleh dilampaui. Sedang batas bawahnya
bernilai negatif dan boleh dilampaui. Berlaku pada hubungan kebendaan sesama
manusia. Batas atas yang berilai positif[12] berupa riba,
sementara batas bawahnya yang negatif berupa zakat.[13]
D.
Contoh
Aplikasi Teori
Dalam sub bab ini, penulis mencoba menerapkan secara langsung
teori-teori yang ditawarkan oleh Muhammad Shahrur, seorang insinyur
berkebangsaan Mesir-Syiria yang inovatif dan revolusioner ini dalam kasus
perbuatan yang dikutuk oleh bangsa kita ini, yaitu “korupsi”. Sebelumnya,
setidaknya kita harus tahu sekilas mengenai komentar dan kesan khalayak
terhadap pemikiran Muhammad Shahrur ini. Mungkin karya-karyanya memang banyak
mungundang kontroversi, khususnya di daerah asalnya, Syiria. Namun hal itu
dapat dimaklumi, karena latar belakang pendidikannya sebagai teknik insinyur,
sehingga model analisisnya pun unik, berbeda dengan kebanyakan para ulama-ahli
tafsir. Dan pada dasarnya, ia sendiri memang tidak menamakan karyanya sebagai
sebuah tafsir al-Quran, dengan kerendahan hatinya, tapi lebih hanya sekedar sebuah
pembacaan kontemporer terhadap al-Quran, sama sekali bukan karya dalam bidang
tafsir ataupun bahkan hukum.
Dalam pembacaan al-Quran dan Sunnah secara kontemporer ini pun,
Shahrur sangat kentara dalam memanfaatkan ilmu-ilmu alam; khususnya matematika
dan fisika. Tapi uniknya sekali lagi, hasil yang diperoleh dari pemikirannya
dapat dikontekstualisasikan lebih luas, khususnya untuk membangun kajian hukum
sebagai sebuah sistem yang komprehensif. Walhasil, karyanya pun memiliki
kedalaman dan keluwesan tersendiri yang tak tertandingi oleh tulisan-tulisan
modern lainnya dalam pembahasan topik hukum ini.[14]
Selanjutnya, untuk lebih mendalam menerapkan kasus ini. Kita
satukan dulu persepsi definisi korupsi, apa itu korupsi? Apa dampak dari
korupsi? Lalu bagaimana hukumnya? Dan apa hukumannya?
a.
Definisi
Korupsi
Istilah korupsi ini asalnya dari satu kata dalam bahasa latin,
yakni Corruptio atau Corruptus, yang kemudian disalin dalam
bahasa inggris menjadi Corruption atau Corrupt, dalam bahasa
Perancis menjadi Corruption. Dan dalam bahasa belanda disalin lagi
menjadi Corruptie (Korruptie). Asumsi terkuat kita menyatakan bahwa dari
bahasa belanda inilah kata itu masuk ke dalam bahasa Indonesia, yaitu Korupsi.
Arti harfiah dari kata korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian,
kata-kata atau ucapan yang menghina dan memfitnah. Andi Hamzah dalam kamus
hukumnya mengartikan korupsi sebagai perbuatan buruk, busuk, bejat, suka
disuap, perbuatan yang menghina atau memfitnah,menyimpang dari kesucian, dan
tidak bermoral.[15]
Baharudin Lopa mengatakan, Corruption is the offering and
accepting of bribes (penawaran/pemberian dan penerimaan hadiah-hadiah
berupa suap). Di samping itu, diartikan juga “decay”, yaitu
kebusukan/kerusakan. Yang busuk dan rusak adalah moral akhlak oknum yang
melakukan perbuatan korupsi sesuai arti “ Corruptus atau Corruptio.[16]
Syamsul Anwar mengutip beberapa pengertian dari para ahli, Syed
Husen al-Atas, menegaskan bahwa esensi dari korupsi pencurian melalui penipuan
dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Dalam Webzter’s Third New
International Dictionary, korupsi didefinisikan sebagai ajakan (dari
seorang pejabat publik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya
untuk dilakukan sebagai sebuah pelanggaran tugas.[17]
Dengan demikian, kata korupsi mempunyai kandungan makna dan cakupan
yang sangat luas, dalam hal ini, Andi Hamzah juga menjelaskan lagi bahwa
kehidupan yang buruk di dalam penjara misalnya, sering disebut pula sebagai kehidupan
yang korup, artinya segala macam bentuk kejahatan terjadi di sana. Akan tetapi,
walaupun makna kata Corruptio itu luas sekali artinya, namun perlu
dicatat bahwa masyarakat sering mengidentikan itu dengan penyuapan. Suap dalam
bahasa arab: “Risywah”, maka di Malaysia terdapat juga peraturan anti
korupsi. istilah di Malaysia tidak menggunakan korupsi,, melainkan kata resuah,
yang tentunya diambil dari bahasa arab Risywah, yang menurut kamus
Arab-Indonesia sama artinya dengan korupsi. Dan itu pula yang terjadi pada di
Indonesia. Jika ada orang yang berbicara mengenai korupsi, pasti yang terbesit
dalam pikiran ialah perbuatan jahat yang menyangkut keuangan negara dan suap.[18]
Dalam bahasa Arab, korupsi juga disebut dengan Risywah” yang
berarti penyuapan. Risywah juga dapat diartikan dengan uang suapnya. Jadi,
intinya korupsi ini dinilai sebagai tindakan merusak dan berkhianat yang juga
disebut sebagai fasad (ifsad) dan ghulul.[19]
Dari uraian pengertian korupsi di atas, bisa kita simpulkan bahwa
arti dan kandungan makna korupsi sangatlah luas, tergantung dari bidang dan
perspektif pendekatan apa yang akan dilakukan. Intinya, dari semua arti, baik
secara etimologi dan terminologi, kesemuanya korupsi diidentikan kepada
keburukan, ketidakbaikan, kecurangan, kerusakan, bahkan kedzaliman yang akibatnya
akan merusak dan menghancurkan tata kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan
bahkan negarapun bisa bangkrut akibat korupsi sebagai tindak kejahatan yang
amat dikutuk sekarang ini.
b.
Dampak Korupsi
Dampak yang ditimbulkan dari tindakan korupsi bermacam-macam sesuai
dengan jenis korupsi yang dilakukan. Secara umum korupsi dalam segala bentuk
dan jenisnya berdampak negatif, yakkni merugikan kepentingan masyarakat (public
interst) dan menghilangkan kepercayaan publik kepada lembaga dan
penyelenggara negara.[20]
Dampak dari korupsi tersebut di antaranya:
-
Kinerja
melayani kepentingan publik menurun.
-
Mutu pelayanan
yang seharusnya jadi target tak dihiraukan, kecuali ada materi tambahan.
-
Posisi menjadi
terbalik, seharusnya petugas (aparat) menjadi abdi masyarakat demi
kesekahteraan dan kenyamanan bersama. Malah mereka menjadi raja-raja dan diberi
“upeti” untuk melayani masyarakat.
-
Dana untuk
kepentingan rakyat tidak ada ujung pangkalnya, tidak jelas sampai ke rakyat
atau tidak. Kalaupun sampai sudah dipotong dengan berbagai macam dalih.
-
Biaya produksi
sangat tinggi.
-
Lembaga
keamanan memanfaatkan situasisituasi tertentu untuk mendapatkan materi
tambahan.
-
Keadilan dapat
dibeli, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan menurun.
c.
Hukuman Bagi
Koruptor
Melihat definisi korupsi yang sangat luas. Term ini sulit untuk
ditentukan hukumnya dan apa hukuman yang pantas bagi para pelakunnya. Bahkan
dalam kitab-kitab fiqih klasikpun sangat sulit ditemukan. Namun, jika kita
menggunakan teori Muhammad Shahrur, sebagaimana juga sudah dibahas mengenai
definisi korupsi, kasus ini secara lahir memang hampir sama dengan sariq
(pencurian). Namun rasanya jika hukuman (had al-a’la) bagi para koruptor
hanya potong tangan (secara harfiah) masih dianggap kurang pantas dengan
pertimbangan dampak yang ditimbulkan begitu besar dan menyangkut hajat orang
banyak. Sebagaimana disebutkan Shahrur dalam karyanya Hermeneutik Islam,
seperti mencuri data data rahasia negara kemudian menjualnya kepada negara
asing atau sesorang yang mengkorupsi harta negara melalui perusahaan negara dan
proyek-proyek fiktif. Atau bahkan ada sekelompok orang yang bersekongkol untuk
mengkorupsi uang negara sehingga mengakibatkan krisis ekonomi bangsa tersebut,
atau penggelapan dana proyek pembangunan infrastruktur, sehingga gedung
tersebut rusak sebelum waktunya akibat kualitas bahan bangunan yang tidak
semestinya, atau memberikan jabatan kepada orang yang tidak sesuai dengan
bidangnya, mark up dana pembangunan berbagai macam proyek pemerintah.
Seperti pada pembangunan pelabuhan, jembatan, terminal, bandara, rumah sakit,
bendungan, instalasi pembangkit listrik dan lain sebagainya.[21]
Sehingga, Shahrur menjawab kasus korupsi ini dengan dalil yang
lain, yaitu yang ada pada firman Tuhan dalam surah al-Maidah ayat 33
yang mencakup jenis kejahatan tersebut, melihat dampaknya yang amat besar.
Firman-Nya:”Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi
Allah dan Rosul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dari negeri (tampat kediamannya). Yang demikian itu sebagai sebuah
bentuk penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akherat mereka beroleh siksaan
yang besar.”
Dalam ayat ini tercantum berbagai macam bentuk hukuman dengan
batasan yang bervariasi. Sehingga menyediakan ruang yang luas untuk berijtihad.
Yang jelas, semua hukuman ini lebih berat dari pada potong tangan sebagaimana
yang tersurat dalam QS. Al-Maidah ayat 38, yaitu hukuman mati, disalib, potong
tangan dan kaki secara berkebalikan, pengasingan atau penjara seumur hidup. Majlis
hakim atau dewan pembentuk undang-undang berkewajiban untuk menetapkan batasan
dan kriteria yang sesuai bagi pemberlakuan masing-masing bentuk hukuman
tersebut atas dasar kondisi obyektif yang melingkupinya. Dengan memperhatikan
seluruh macam bentuk hukuman ini adalah batas maksimal, Allah membuka pintu
taubat dan maaf bagi mereka yang menyesali perbuatannya, sebagaimana firman
Allah: “Kecuali orang-orang yang taubat (di
antara mereka) sebelum kamu dapat mengusai (menangkap) mereka; maka
ketahuilah bahwasannya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.
al-Maidah: 34).
Allah telah menetapkan taubat dan maaf sebagai dasar acuan
pemberlakuan hukum. Dengan ungkapan lain, untuk mendapatkan maaf, si pelaku
harus bertaubat terlebih dahulu dan mengakui seluruh perbuatannya (kesalahan)
sebelum diungkapkan oleh pihak yang berwajib. Dalam hal ini, pemberian maaf
lebih diutamakan, kata Shahrur.[22]
III.
Kesimpulan
Teori yang ditawarkan Muhammad Shahrur ini benar-benar merupakan
teori baru. Karena kajiannya ini pun tidak berlandaskan langsung dengan
teori-teori dalam kajian Islam sebelumnya. Melainkan diinspirasi berdasarkan
pemahaman historis ilmiah dalam kajian lingistik yang diteliti oleh Dr. Ja’far
Dikk al-Bab. Keyakinan yang ia pegang itu berdasarkan bahwa al-kitab itu sesuai
di setiap waktu dan tempat. Maka dengan teori limitnya ini, ia yakin benar
bahwa hukum Tuhan akan selalu berlaku hingga akhir zaman sesuai dengan tempat
dan masanya.
Itu juga ia buktikan dalam contoh kasus korupsi misalnya. Ia tidak
serta merta menyamakan hukumannya dengan sariq (pencuri). Walaupun
sebenarnya memang ada kesamaan. Namun karena dianggap hukuman tersebut masih
kurang berat dengan dalih bahwa dampak yang diakibatkan korupsi lebih besar dan
luas.
Dan sejatinya korupsi sendiri memang tidak ada dalil tersirat yang
menyebutkan hukuman bagi para pelakunya dalam al-Quran dan hadits. Kalaupun ada
(seperti risywah, ghulul) itu karena dampak yang diakibatkan belum sampai
sebesar pada era sekarang ini. Sehingga ia menggunakan dalil dalam surat
al-Maidah ayat 33 sebagai landasan hukum bagi para pelaku koruptor. Dengan
catatan semua hukum yang tercantum dalam surat tersebut adalah batas maksimal (had
al-a’la), karena semua hukum itu lebih berat dari sekedar potong tangan.
Dan untuk menentukan hukum mana yang lebih pantas, Shahrur menyerahkannya
kepada para mujtahid (Majlis Hakim/Dewan pembentuk undang-undang) untuk
menentukan batasan dan kriteria-kriteria hukuman bagi pelaku sesuai dengan
alasan dan berbagai macam faktor yang melingkupi pelaku.
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi
Allah dan Rosul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dari negeri (tampat kediamannya). Yang demikian itu sebagai sebuah
bentuk penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akherat mereka beroleh siksaan
yang besar.”QS. al-Maidah: 33.
Daftar Pustaka
Shahrur, Muhammad,
Prinsip dan Dasar Hermeneutik Al-Quran Kontemporer, 2004, Yogyakarta:
EISAQ Press.
Muhammad
Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutik Hukum Islam, 2007, Yogyakarta:
eLSAQ Press.
Abdullah, H.
M. Amin, Abdul Salam Arief, DKK, Madzhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul
Fiqh Kontemporer, 2002, Djokjakarta: Ar-Ruzz Press.
http://id.shvoong.com/humanistic/history/2172316-biografi-Muhammad-Shahrur.
QS. Al-Hijr: 9
dan An-Nahl: 44
Muhammad Nurul
Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif Fiqih Jinayah,
2009, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI.
Ahmad Warson
Munawir, Kamus Munawir Arab-Indonesia (Yokgyakarta: Ponpes Krapyak al
Munawir, 1884).
Masdar F.
Mas’udi, Indra J. Pilang, Ervyn Kaffah, Sapto Waluyo, DKK, Fiqh Korupsi:
Amanah VS Kekuasaan, 2003, NTB: Solidaritas Masyarakat Transparasi NTB.
[1] Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutik Al-Quran
Kontemporer, 2004, Yogyakarta: EISAQ Press, hal. 37.
[2] Ibid, hal. 38.
[3] Ibid, 39-40.
[4] Ibid, hal. 41.
[5] H. M. Amin Abdullah, Abdul Salam Arief, DKK, Madzhab Jogja:
Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, 2002, Djokjakarta: Ar-Ruzz
Press, hal. 121.
[6]
http://id.shvoong.com/humanistic/history/2172316-biografi-Muhammad-Shahrur.
[7] Lihat QS. Al-Hijr: 9 dan An-Nahl: 44
[8] Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutik Al-Quran
Kontemporer, hal. 39-41.
[9] Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutik Hukum Islam,
2007, Yogyakarta: eLSAQ Press, hal. 5-6.
[10] Muhammad Shahrur, ibid. Hal. 31-45.
[11]Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutik Hukum Islam Kontemporer,
hal. 45.
[12] Istilah positif dan negatif di sini bukan istilah moral (baik dan
buruk), tetapi istilah matematika: positif (plus) berarti di atas garis nol,
dan negatif (minus) di bawah garis nol.
[13] Muhammad Shahrur, Prinsip
dan Dasar Hermeneutik Hukum Islam Kontemporer, hal. 45.
[14] Ibid, hal. 3.
[15] Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam
Perspektif Fiqih Jinayah, 2009, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama
RI, hal. 42-43.
[16] Ibid.
[17] Ibid, hal. 44.
[18] Ibid.
[19] Ahmad Warson Munawir, Kamus Munawir Arab-Indonesia (Yokgyakarta:
Ponpes Krapyak al Munawir, 1884), hal 537, 1089, 1134, kata fasad-ifsad dalam
kamus ini diartikan mengambil harta secara dzalim .
[20] Masdar F. Mas’udi, Indra J. Pilang, Ervyn Kaffah, Sapto Waluyo,
DKK, Fiqh Korupsi: Amanah VS Kekuasaan, 2003, NTB: Solidaritas
Masyarakat Transparasi NTB, hal. 273-274.
[21] Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutik Hukum Islam Kontemporer,
hal. 35.
[22] Prinsip dan Dasar Hermeneutik Hukum Islam Kontemporer, hal.
36.
MAU BELI KURSI MAKAN MURAH
0 komentar:
Posting Komentar